Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Siswa Telat Calistung, Bagaimana Menyikapinya?

2 Oktober 2024   07:52 Diperbarui: 2 Oktober 2024   10:09 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pembelajaran Calistung berbasis Kurikulum Merdeka di SD. | Sumber: Tanoto Foundation via Kompas.com 

Seiring dengan kebijakan Kemendikbud mengenai transisi menyenangkan dari PAUD ke SD, harapannya jelas yaitu anak-anak tidak dibebani dengan tekanan akademis yang berat. Misi dibalik kebijakan ini adalah menciptakan lingkungan belajar yang menekankan pada pengembangan karakter, moral, dan sosial-emosional anak selama masa PAUD. Fokus utama di PAUD adalah membentuk fondasi kepribadian yang kuat. Sementara keterampilan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) baru menjadi sorotan setelah anak memasuki jenjang SD.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan situasi dimana banyak buku pelajaran dan sumber belajar yang diperuntukkan bagi siswa kelas 1 SD masih terasa terlalu kompleks dan berat. 

Situasi yang memaksa anak-anak yang baru saja menikmati suasana PAUD yang ceria dan menyenangkan, lalu harus segera 'berlari' mengejar keterampilan akademis, terutama calistung. 

Seakan-akan "sistem" mendorong anak-anak ini agar cepat mahir, meskipun mereka mungkin belum siap secara emosional maupun kognitif.

Transisi yang ideal seharusnya lebih berfokus pada pengenalan bertahap terhadap dunia akademis (baca: calistung), bukan pada penekanan apalagi pada hasil instan. 

Bayangkan dampaknya jika di usia yang seharusnya penuh eksplorasi dan kegembiraan, anak-anak dihadapkan pada standar akademis yang lebih tinggi dari kemampuan mereka. Ini tentu dapat menyebabkan stres dan menurunkan minat belajar jangka panjang. 

Tantangan ini menjadi paradoks yang berpotensi meredupkan niat mulia untuk menjadikan SD sebagai ruang belajar yang menyenangkan.

Tak hanya itu, buku dan materi yang diberikan kepada siswa Kelas 1 seharusnya lebih adaptif dan disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa pada usia ini, anak lebih optimal belajar melalui permainan, interaksi sosial, dan aktivitas praktis. 

Setiap anak memiliki laju perkembangan yang berbeda. Menghadirkan lingkungan yang kaya dengan pengalaman, sosial, dan emosional akan memberikan dampak positif yang lebih kuat dibandingkan sekadar menjejalkan anak dengan target-target akademis.

Guru membimbing anak yang lamban membaca dengan menggunakan kartu huruf yang dinilai bisa membantu anak lebih cepat membaca. (Dok. Inovasi Kaltara)
Guru membimbing anak yang lamban membaca dengan menggunakan kartu huruf yang dinilai bisa membantu anak lebih cepat membaca. (Dok. Inovasi Kaltara)

Tantangan Pembelajaran Calistung yang Inklusif dan Berdiferensiasi

Setiap anak adalah individu unik dengan kecepatan belajar yang berbeda. Di kelas 1, ada anak yang dengan cepat menguasai kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung), namun tak jarang kita juga mendapati siswa yang butuh waktu lebih lama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun