Kabar mengenai aksi seorang guru yang viral karena menggunduli siswi-siswinya yang terbukti tidak menggunakan ciput atau dalaman jilbab di sekolah telah mengguncang jagad maya dan mengusik perhatian kita bersama. [simak Kompas.com]
Kontroversi ini mencerminkan perdebatan mendalam antara dua sudut pandang yang berlawanan, dan mengundang kita untuk merenungkan batasan antara pendisiplinan dan tindakan yang terlalu ekstrim.
Di satu sisi, dukungan bagi guru tersebut datang dari pengertian bahwa pendidikan tidak hanya mengacu pada pembelajaran materi atau bahan ajar, tetapi juga membentuk karakter dan disiplin siswa.Â
Guru-guru yang berdedikasi tinggi seringkali berusaha untuk mengajarkan kepada siswanya nilai-nilai seperti kepatuhan terhadap aturan dan penghormatan terhadap guru. Tindakan guru tersebut mungkin saja memiliki niat baik, yaitu menciptakan lingkungan sekolah yang tertib dan mempersiapkan siswa untuk menghadapi norma sosial di masyarakat.
Sedangkan, disisi lain kita harus merenungkan apakah tindakan guru tersebut adalah langkah yang tepat dalam mencapai tujuan tersebut. Tindakan ini menimbulkan berbagai pertanyaan yang menyangkut faktor etis dan psikologis siswa.Â
Apakah menggunduli siswi-siswi yang tidak mematuhi aturan mengenai hijab adalah cara yang benar untuk mendidik mereka?
Apakah ada metode lain yang lebih efektif dan lebih manusiawi untuk menyampaikan pesan tentang kepatuhan?
Selain itu, perlu dipertimbangkan mengapa tindakan ekstrim ini terjadi. Adakah faktor-faktor di dalam sekolah atau masyarakat yang mendorong guru untuk mengambil langkah ini. Atau ada masalah yang lebih mendalam yang perlu diatasi seperti kurangnya pemahaman tentang hak dan kewajiban siswa dalam berpakaian di kawasan sekolah.
Aksi guru ini juga menggambarkan kekuatan dan dampak media sosial dalam mengekspos kasus seperti ini. seperti kata mereka, "the power of netizen". Viralnya insiden ini di media sosial menciptakan gelombang reaksi dan diskusi yang luas.Â
Tindakan ini seharusnya dilihat sebagai upaya guru untuk mendidik siswanya. Namun semestinya proses pendisiplinan siswa tanpa melanggar hak-hak atau merendahkan martabat siswa yang berpotensi siswa terkena bullying.Â
Perdebatan ini harus menginspirasi kita untuk kembali mempertimbangkan bagaimana pendidikan karakter dilakukan dengan cara yang bijaksana dan bermakna, tanpa memperburuk situasi atau menciptakan trauma pada siswa.Â
Lagi, ini adalah pelajaran berharga bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, agar kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik bagi generasi mendatang.