Apakah sekolah hanya tempat transit dari satu jenjang ke jenjang berikutnya?
Haruskah sekolah mengeluarkan murid yang "bermasalah"?
Sekolah adalah rumah kedua bagi peserta didik. sekolah bukan hanya sekedar tempat untuk belajar berbagai ilmu pengetahuan, namun yang terpenting pula adalah bagaimana sekolah mampu menanamkan nilai-nilai untuk diterapkan peserta didik di dalam kehidupannya.
Untuk itu, apabila ditemukan adanya murid yang bermasalah --- baik dari segi kognitif maupun karakter --- tidak harus serta-merta segera dikeluarkan dari sekolah.
Sekolah adalah tempat bagi murid untuk belajar. Tujuan dari proses belajar adalah berubah.Â
Apabila peserta didik sudah mampu membedakan mana hal baik dan hal buruk, dari tidak tahu menjadi paham, dapat berubah dari kecerobohan, maka tujuan dari adanya proses belajar sudah dapat dikatakan berhasil.
Tapi tentu sekolah menawarkan hal lebih dan komprehensif dari hanya sekedar membekali murid dengan wawasan dan pengetahuan.
Terkadang, banyak pula murid yang tidak mampu menjangkau sebuah hasil yang diharapkan dari proses belajar yang dihadirkan di sekolah.
Oleh sebab itu, poin utama yang harus dipahami dari kata "sekolah" dan kata "belajar" adalah berproses.
Sejatinya, tidak ada anak atau murid yang bermasalah bila sejak awal dapat dibimbing dan dibina dengan baik.
Hanya saja, bila dalam perjalanannya ada murid yang bermasalah --- terutama pada masalah karakter --- maka sekolah hendaknya tidak sampai hati mengeluarkan murid tersebut walaupun dengan dalih telah menjalani serangkaian upaya pembinaan.
Di berbagai sekolah yang ada di Indonesia, mulai jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi misalnya pasti ada saja murid yang bermasalah.
Ungkapan kata bermasalah yang saya maksud akan menitik beratkan pada aspek pendidikan karakter. Sedangkan konotasi bermasalah yang saya akan tekankan disini bukanlah bermakna buruk dari sisi teoritis melainkan dari sisi praktis.
Kembali lagi pada bahasan kali ini yakni menemukan kasus murid bermasalah pasti akan ditemukan di berbagai satuan pendidikan.Â
Bahkan di sekolah tempat saya bertugas pun juga tidak luput dari adanya murid yang bermasalah.
Fenomena semacam itu harus dapat dimaklumi oleh pihak sekolah khususnya bagi pendidik untuk bisa menyikapi dengan penuh kebijaksanaan terhadap murid yang bermasalah.
Sekolah bukan hanya untuk murid yang pintar dan "bisa diatur"
Tentu sekolah bukan hanya untuk membina murid-murid yang dianggap pintar sehingga bisa diatur.
Bila semua orang terlahir sudah pintar dan berkarakter baik tentu keberadaan sekolah tidak lagi dibutuhkan. Karena proses belajar saat ini bisa dilakukan dimana saja, kapan saja bahkan tanpa harus bertatap muka yakni secara daring atau virtual.
Sekolah adalah tempat pembinaan, pemberian bimbingan, pendorong untuk berubah dan mendidik menjadi lebih baik.
Maka untuk itulah pada dasarnya sekolah menjadi tempat yang sangat tepat untuk menunaikan fungsi mendidik, membina dan membimbing murid-murid bermasalah untuk bertransformasi menjadi anak yang baik dan berakhlak.
Sekolah untuk mencetak kepribadian generasi-generasi bangsa yang dicita-citakan sesuai dengan konsep kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara atau memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Setiap murid akan melewati fase pencarian jati diri dan penemuan kepribadian
Sekolah bisa saja menjadi tempat bagi seluruh murid mengenal berbagai model karakter dari sesama teman sejawat.
Dari sekian banyak murid yang ada dalam satu kelas maupun secara luas dalam satu sekolah akan memiliki beragam jenis karakter bawaan dari lingkungan keluarga atau pendidikan informal.
Disamping itu pula bahwa dalam proses perkembangan fisik dan mental, murid akan terpapar jenis karakter yang berkembang di lingkup lingkungan sekitar.
Tak bisa dipungkiri bahwa faktor lingkungan mengambil porsi yang cukup signifikan dalam mempengaruhi perubahan karakter murid --- dari baik menjadi tidak baik maupun sebaliknya.
Oleh sebab itu, guru harus senantiasa meluruskan karakter murid agar kembali dapat dibina dan dibimbing dalam proses pengenalan karakter baik yang semestinya menjadi karakter utama dari setiap murid.
Logikanya adalah orang dewasa yang dianggap telah khatam dalam proses pembentukan karakter --- karena mereka sudah mampu menentukan pilihan karakter sesuai moral yang berlaku --- namun faktanya tak sedikit kita menjumpai karakter orang dewasa yang "uneducated" atau seperti tak terdidik sama sekali.
maka proses pendidikan karakter bagi murid adalah sebuah proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan.
Penelusuran karakter dari garis karakter informal orangtua dan keluarga
Adalah benar bila ada pepatah yang mengatakan "buah jatuh tak jauh dari pohonnya". Karakter anak sangat dipengaruhi oleh karakter orang tua maupun keluarganya.
Anak adalah cerminan orang tuanya. karakter yang ada pada anak-anaknya bisa menjadi gambaran karakter orangtuanya. tolok ukur karakter anak memang sesederhana itu.
Di beberapa sekolah didapati murid-murid yang bermasalah namun setelah ditelusuri tentang orang tuanya diambil benang merahnya bahwa itu semua dapat dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian dari orang tua.
Bila hal demikian yang terjadi maka tidak etis rasanya bila sekolah mengambil keputusan untuk mengeluarkan murid karena kecenderungan murid bermasalah bukan semata-mata karena kesengajaan dari murid tersebut.Â
Melainkan karena adanya dorongan cara bersikap yang telah tertancap di alam bawah sadar sebagai hasil meniru dari pengamatan anak terhadap perilaku orang tuanya sehari-hari.
Tantangan Kurikulum Merdeka dalam mewujudkan Profil Pelajar Pancasila
Murid yang bermasalah biasanya karena mental sedang terbelenggu atau memiliki tekanan batin sehingga secara emosional akan mempengaruhi pola perilakunya.
Tekanan bisa disebabkan karena masalah orang tua atau masalah keluarga dirumah maupun karena masalah-masalah yang dihadapi di sekolah pada saat berinteraksi bersama teman ataupun dari cara pembinaan guru yang kurang humanis.
Kurikulum Merdeka hadir untuk memerdekakan murid-murid. Tujuan adanya Kurikulum Merdeka untuk mewujudkan Profil Pelajar Pancasila yang beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia, mandiri, bergotong-royong, berkebinekaan global, bernalar kritis dan kreatif.
Sekolah dianggap berhasil menerapkan Kurikulum Merdeka apabila muridnya telah memiliki karakter Profil Pelajar Pancasila dan mengamalkannya dalam kehidupan sekolah dan dirumah.
Sebaliknya, bila masih ada murid yang bermasalah maka penerapan Implementasi Kurikulum Merdeka tersebut bisa dikatakan belum berhasil.
Itulah tantangan yang harus diselesaikan dengan adanya Kurikulum Merdeka dan upaya pembentukan karakter Profil Pelajar Pancasila.
Pendidikan untuk "memanusiakan manusia"
Pendidikan dihadirkan ke tengah-tengah masyarakat memang tujuannya adalah untuk memanusiakan manusia.
Dan sekolah pun diadakan sebagai tempat pembentukan karakter agar murid-murid menjadi manusia yang berakhlak mulia. Serta menjadi generasi yang tertanam nilai-nilai moral dan kesusilaan pada setiap individu murid sebagai seorang pelajar.
Tujuan mulia itu harus benar-benar dapat dicapai hendaknya oleh setiap satuan pendidikan mulai dari jenjang PAUD, pendidikan dasar dan menengah, hingga pendidikan tinggi.
Untuk itu, dibutuhkan dukungan manajemen sekolah dan Dinas Pendidikan untuk mewujudkan sekolah dengan menghadirkan Kurikulum Merdeka bikin pembelajaran jadi berkualitas.
Wasana kata
Apakah kita sudah menemukan sebuah kesimpulan tentang bagaimana seharusnya sekolah atau satuan pendidikan menyikapi adanya murid-murid yang bermasalah.
Seharusnya murid bisa menyadari jika sekolah merupakan tempat terbaik dan terindah bagi mereka hingga pada akhirnya mereka rela untuk dididik dan dibina oleh guru dengan setulus hati.
Opsi atau pilihan untuk keputusan mengeluarkan murid bermasalah bukanlah pilihan yang tepat dan tidak bijak sama sekali.
Ada banyak cara, langkah dan strategi yang seharusnya diupayakan terlebih dahulu oleh guru atau sekolah.
Kerjasama dengan orang tua memang sangat dibutuhkan dalam upaya meluruskan cara pandang dalam memilih sebuah sikap dan perilaku bagi murid-murid. karena orang tua tidak bisa pula menyerahkan tanggung jawab pembinaan hanya kepada pihak sekolah.
Dengan meminta bantuan atau rekomendasi pembinaan karakter yang diarahkan oleh psikolog pun juga bisa dijadikan wawasan untuk upaya pembinaan dan pembentukan karakter murid.
Bila berbagai upaya telah dilakukan maka tidak mungkin tidak menghasilkan perubahan sedikitpun terhadap karakter murid. Karena sejatinya tidak ada anak yang nakal di dunia ini, yang ada hanya anak-anak yang butuh perhatian (baca: pembinaan, bimbingan dan didikan) untuk kemajuan pendidikan Indonesia.
#MerdekaBelajar
#KurikulumMerdeka
Referensi penulisan:
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H