Quiet quitting tak muncul pula begitu saja dengan sendirinya. Ada angin, ada hujan.
Dari faktor eksternal seperti pola kepemimpinan atasan yang "kurang manusiawi", banyaknya tekanan dari pekerjaan dan tugas-tugas yang tak terselesaikan dengan tepat waktu, deadline yang penuh konsekuensi, persaingan yang tidak sehat antar sesama pekerja, dan lain sebagainya.
Lama-kelamaan jika fenomena seperti itu terus terjadi kepada para pekerja, maka quiet quitting bagi mereka dianggap sebagai tindakan apresiatif dalam bentuk mekanisme pertahanan diri terhadap tuntutan tinggi perusahaan yang begitu membabi buta.
Perusahaan atau tempat kerja bagi pekerja yang terkena quiet quitting diibaratkan sebagai penjara dengan berbagai kekangan hidup yang dirasakan oleh pekerja tersebut.
Sikap dan perilaku seorang pekerja yang terkena quiet quitting tentu dapat dengan mudah dibedakan oleh pihak perusahaan dengan pekerja lain yang bekerja dengan tetap mengedepankan etos kerja yang baik walau tekanan yang mereka hadapi sama persis dengan tekanan yang dialami pekerja dengan quiet quitting.
Perbedaan sikap dan cara pandang dari sesama pekerja mengenai pekerjaan dan "kontak batin" dengan tempat ia bekerja bisa dipahami oleh pihak perusahaan tanpa rumus tertentu.
Sehingga ketika perusahaan mendapati pekerja yang melakukan tindakan quiet quitting ini maka selanjutnya perusahaan akan melakukan tindakan quiet firing.
Fenomena quiet firing bagi pihak perusahaan disinyalir menjadi respons terhadap aksi quiet quitting yang ditunjukkan oleh pekerja.
Langkah yang biasanya kerap ditempuh oleh perusahaan, yakni dengan mendiamkan karyawan atau pekerja yang hanya menunjukkan performa ala kadarnya. Perusahaan cenderung tidak melibatkan pekerja tersebut dalam proyek dan promosi yang mana hal tersebut sangat berguna bagi para pekerja demi menunjang karirnya.
Sesuai dengan arti dari quiet firing ini, perusahaan sebenarnya hendak melakukan upaya pemecatan secara diam-diam kepada pekerja dengan quiet quitting tersebut.