Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | akbarpitopang.kompasianer@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

4 Langkah Visioner Mengatasi Ancaman "Quiet Quitting" di Kalangan Gen Z

15 September 2022   04:52 Diperbarui: 17 September 2022   17:01 1815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja kantoran terkena quiet quitting. Sumber: Pexels.com/daria via Kompas.com

Pada suasana kerja yang masih "fresh" tersebut, kami menjalani pola pekerjaan sesuai dengan yang diterapkan di perusahaan itu.

Misalnya saja, sebagai perusahaan yang bergerak di bidang finance atau pembiayaan, tentu erat dengan istilah end of month alias closing akhir bulan.

pada hari terakhir di setiap bulannya, kami semua staf bekerja bagai robot dari pagi hingga malam demi mencapai target bulanan yang telah ditentukan oleh perusahaan.

Pulang kerumah sudah larut hingga bisa mencapai pukul 11 malam merupakan hal yang wajar bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan pembiayaan, keuangan, serta di bank karena adanya closing bulanan ini.

Lebih kurang 3 tahun kami "stay cool" bekerja di perusahaan itu. Hingga pada akhirnya di tahun 2018 --- dimana keinginan untuk berhenti sudah ada sejak 2017 --- kami memutuskan untuk resign atau mengundurkan diri dari perusahaan.

Pada masa itu kami mengalami gejala-gejala sebagai tanda telah terjangkit "virus" quiet quitting.

Hal yang rasakan ketika itu, seperti keinginan untuk bisa pulang tenggo alias setengah lima langsung go, diliputi perasaan malas ketika hendak berangkat kerja, ingin "santuy" lebih lama ketika jam istirahat siang, dan sebagainya.

Karena adanya berbagai faktor yang akan kami paparkan sebentar lagi dibawah ini yang mempengaruhi "mood" untuk bekerja --- yang acapkali terjadi --- menimbulkan gejolak pada diri ini untuk segera "memerdekakan diri" alias resign.

Ilustrasi pekerja kantoran. Apa itu quiet firing? (DOK. GreatDay HR via kompas.com)
Ilustrasi pekerja kantoran. Apa itu quiet firing? (DOK. GreatDay HR via kompas.com)

Berikut beberapa hal yang meruntuhkan jiwa militansi kami dalam bekerja kala itu.

1. Jobdesc yang semakin "melebar"

Dalam kontrak kerja yang telah disepakati dan ditanda tangani diawal bekerja, sudah disebutkan apa saja lingkup pekerjaan yang akan dibebankan perusahaan kepada pekerja yang baru diterima tersebut.

Walau pada akhirnya dalam prakteknya di lapangan ada jobdesc yang diganti dengan jenis pekerjaan yang lain, atau bahkan ada yang ditambahkan dengan pekerjaan yang lain sepertinya adalah hal yang sah-sah saja ketika masih ada kaitannya dengan jobdesc awal yang telah disepakati.

2. Tak ada hilal untuk jenjang karier.

Semenjak kami diterima bekerja hingga menjelang kami berhenti bekerja, tidak ada rotasi karir untuk posisi yang kami bidangi. Baik itu di kantor cabang yang mungkin dari staf biasa bisa menjadi Operation Head, maupun untuk ditarik ke pusat misalnya. 

Walau dalam kondisi tertentu ada rotasi staf yang dilakukan antar cabang tapi hal itu tidak rutin dilakukan. Apalagi cara seperti itu hanya sekedar mengubah suasana, tidak mengubah jenjang karir.

3. Jam lembur yang tak dibayar.

Jadwal bekerja di mulai sejak pukul 8.30 hingga 16.30 WIB setiap harinya. Jika karyawan harus membutuhkan jam tambahan lantaran masih banyak pekerjaan dan tugas-tugas yang masih menumpuk dan belum terselesaikan, maka tentu tidak ada salahnya untuk melakukan lembur.

Agar esok hari pekerjaan dan tugas yang akan diselesaikan tidak semakin menumpuk. Serta demi berjalannya roda pekerjaan pada esok harinya dengan baik dan penuh tanggung jawab.

Namun sayang sekali bahwa pada bulan-bulan berikutnya banyak jam lembur yang tidak mendapatkan upah. Padahal karyawan terpaksa melakukan lembur bahkan hingga malam hari.

4. Jadwal absensi tak sinkron dengan jadwal realtime masuk kerja.

Kala itu cara untuk pengisian kehadiran atau presensi karyawan melalui aplikasi di komputer kantor. ketika hendak memulai aktifitas di kantor hingga nanti jadwal bekerja telah berakhir, semua karyawan wajib mengisi presensi terlebih dahulu. 

Karena jika tak taat aturan bahkan sering melupakan kewajiban mengisi presensi ini, tentu akan berdampak pada karyawan yang bersangkutan. 

Ada potensi mendapatkan sanksi bahkan gaji bulanan yang akan dikurangi. Tentu saja hal itu sangat merugikan karyawan.

Tapi terkadang kesalahan tak sepenuhnya karena ulah karyawan. Karena adakalanya sistem di pusat yang malah mengalami error atau kekacauan seperti jam pada server yang tidak sinkron secara realtime.

Namun tetap saja malah karyawan tetap dianggap telah melakukan kesalahan. 

5. Pola kepemimpinan head office yang buruk.

Jiwa kepemimpinan yang mumpuni harus dikuasai oleh para atasan. Sehingga atasan tak terkesan hanya semena-mena kepada bawahannya.

Hal yang paling mendasar yang perlu diperhatikan oleh setiap atasan adalah bagaimana cara berkomunikasi dan memberikan instruksi. 

Karena jika caranya salah, karyawan akan kehilangan respect kepada atasannya. Sosok para atasan menjadi tidak lagi berwibawa di mata para bawahan.

Akibatnya karyawan di level rendah menjadi kurang bersemangat dan bekerja hanya sebatas menyelesaikan jobdesc yang ditentukan.

Setidaknya 5 hal diatas dapat mempengaruhi pandangan dan pola perilaku para pekerja dalam dunia kerja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun