Bagi yang sempat kuliah di Jogja pasti mengenal dengan begitu familiar model lemari kayu dengan dua pintu setinggi bahu yang menjadi favorit mahasiswa perantauan.
Kenapa menjadi favorit mahasiswa perantauan lantaran dari segi harga yang cukup ramah di kantong mahasiwa serta kualitas yang lumayan bisa diandalkan.
Tapi, rekan kami tadi malah membeli lemari dengan harga yang tiga kali lebih mahal dari harga lemari favorit mahasiswa diatas.
Jelas saja menurut kami hal tersebut termasuk langkah mubazir dan kurang tepat pilihannya dalam membeli lemari tersebut.
Untuk apa membeli furnitur dengan harga yang mahal karena tidak mungkin akan ikut diboyong ketika pulang ke kampung halaman.
4. Furnitur nanti dijual lagi atau jadi donasi?
Ketika pelajar atau mahasiswa perantauan diharuskan untuk membeli furnitur seperti lemari ini maka perlu baginya untuk mempertimbangkan aspek kelayakan dan ketahanan suatu barang furnitur.
Misalkan dari kisah yang gambarkan di atas apakah lemari yang sudah dibeli itu nantinya masih bisa dijual lagi untuk menutupi kebutuhan lain karena sama-sama berstatus sebagai mahasiswa perantauan.
Ketika sudah lulus dan hendak pulang kampung, apakah furnitur tersebut masih bisa dijual lagi ke mahasiswa baru (MaBa) yang baru menetap di tanah rantau. Tentu dengan harga miring yang dipatok bisa menjadi penawaran menarik bagi para mahasiswa baru.
Jika tidak memperhatikan hal tersebut sejak awal, pada akhirnya furnitur yang kita beli hanya bisa menjadi barang warisan yang bisa didonasikan secara ikhlas kepada penghuni baru.
Demikianlah beberapa saran dan masukan kami bagi para pelajar atau mahasiswa di perantauan. Tidak ada salahnya jika harus membeli furnitur karena itu juga merupakan sebuah kebutuhan mendasar atau primer bagi seorang pelajar mahasiswa perantauan.