Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mudik: Pergulatan Rasa dan Tekanan Massa

16 April 2022   10:53 Diperbarui: 17 April 2022   19:56 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah hampir setengah bulan kita membersamai bulan yang suci ini. Tak lama lagi kita akan menjemput kemenangan di Idul Fitri nan dinanti. Begitupun selanjutnya kita akan ikut bersama-sama melanjutkan tradisi yang ada yaitu tradisi mudik lebaran.

Ya, mudik lebaran menjadi suatu agenda yang sudah disiapkan atau direncanakan sejak lama dalam kurun waktu tertentu. Seseorang biasanya sudah mempersiapkan diri untuk mudik lebaran di hari raya seperti Idul Fitri ini.

Karena pemerintah yang memang mungkin mengakomodir tradisi yang ada. Sehingga alokasi waktu cuti karena tanggal merah hari besar keagaman seperti hari raya Idul Fitri ini memang dirasa menjadi momen yang tepat untuk mudik ke kampung halaman.

Khalayak dari seluruh pelosok negeri dari sabang sampai merauke. Semuanya pasti pernah melakukan mudik, baik dilakukan setiap tahun ataupun di kurun waktu tertentu seperti misalkan setiap 5 tahun sekali.

Kami pun juga ikut merasakan sukacita kegiatan mudik lebaran ke kampung halaman ini. Beberapa tahun ke belakang, momen mudik yang dilakukan terasa begitu bermakna. Tidak hanya sekedar pulang ke kampung halaman, tapi ada nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung didalamnya.

Hidup jauh dari orangtua atau keluarga merupakan suatu perasaan sedih yang mendalam yang dipendam oleh setiap perantau atau para pejuang nasib. Mereka hidup berjauhan tidak hanya sekedar pilihan untuk berjauhan. Tapi dengan tujuan ada sesuatu yang bermakna yang akan didapat.

Begitulah para tetua sampaikan. Mereka yang berjuang hidup di rantau tidak hanya sekedar membawa pulang bukti juang berupa materi. Tapi pola pikir dan atau cara pandang menilai segala sesuatu yang tersurat maupun yang tersirat di dunia ini dinilai menjadi suatu hal yang bersifat positif.

via beritatrans.com
via beritatrans.com

Bukti Kasih Sayang Orangtua Tak Terbatas

Sejak memasuki jenjang SMP, saya sudah mulai merasakan hidup berjauhan dengan orangtua. Diawali dengan "paksaan" dari orangtua agar saya melanjutkan sekolah di pesantren. Di masa-masa awal ini terasa begitu berat dan menyakitkan ketika harus berpisah dengan orangtua yang kita sayangi.

Pada masa awal transisi, saya juga terkadang masih suka menangis. Bagaimana tidak, itu adalah momen saya diajarkan untuk menjadi seorang pribadi yang kuat dan tidak cengeng. Tapi tetap saja saya sering meneteskan air mata. Bayangkan saja anak baru lulus SD berumur 12 tahun. Sudah harus menahan pedihnya rasa rindu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun