Setelah dari Lombok, saya akhirnya bisa balik ke kampung. Memang sudah tidak bisa lagi menahan rindu itu. Saya dan orangtua harus melepas rindu itu. Alhamdulillah, kami masih diberikan kesempatan untuk bertemu.Â
Akhirnya, saya bisa tinggal satu atap lagi bersama orangtua. Memang begitu nikmat bisa hidup berdekatan dengan orangtua. Melihat teduhnya raut wajah orangtua kita, merupakan sebuah nikmat luar biasa yang takkan bisa tergantikan.
Tapi hanya lebih kurang 3 tahun saja saya bisa setiap hari lagi berjumpa dengan orangtua. Setelah itu berpisah lagi. Di Juli 2018, saya hijrah ke provinsi tetangga.
Sekarang sudah hampir 4 tahun pula saya tidak bisa bersentuhan langsung dengan orangtua. Walau sudah biasa berjauhan. Tapi rasa ingin selalu bertemu tidak bisa dilunturkan begitu saja karena faktor keadaan.
Selama hampir 4 tahun itu pula saya masih sering dikirimi paket oleh orangtua. Tidak hanya rendang, tapi juga hasil bumi lainnya seperti beras, sayur-mayur, buah-buahan, dan juga terkadang diselipkan makanan.
Mungkin karena hanya beda provinsi yang masih berada di pulau yang sama. Sumbar-Riau masih bisa ditempuh di hari yang sama. Angkutan yang membawa penumpang dan barang bisa cepat sampai ke masing-masing daerah ini. Mungkin karena alasan itulah orangtua saya malah jadi semakin sering mengirimkan paket. Sekali lagi, tanda sayang.
Walaupun begitu, saya tetap tak bisa terlalu sering pulang. Bahkan pada cuti lebaran pun saya terkadang tak bisa pulang. Semua itu karena faktor pekerjaan. Dan orangtua sudah sangat ikhlas dan maklum akan hal itu.
Tapi sekalinya pulang, ada kesan-kesan tersendiri yang kami dapatkan dari pandangan masyarakat. Masyarakat memandang perantau yang pulang kampung adalah orang-orang yang bisa dikatakan sudah cukup berhasil dan upayanya merubah nasib dan keadaan di masa lampau.
Di hadapan kami sendiri, salah seorang warga mengatakan seperti ini,
"Itu yang didepan rumah, rumah putih itu mobil kamu ya?"
"Eh, bukan pak. Itu mobil adik saya loh"