Seorang wahasiswa asal Kampung Melayu Jakarta yang study S2 tentang nuklir di Moskwa menjelaskan bahwa kita di Indonesia terjebak pada pemahaman yang keliru tentang nuklir. Yang dibesar-besarkan adalah risiko mematikan jika terjadi error pada sebuah pembangkit nuklir. Dan kasus Chernobil di Rusia serta Fukushima Jepang sebagai contoh perbandingan. Padahal reaktor Chernobil itu generasi kedua teknologi nuklir dan Fukushima adalah generasi ketiga.
“Teknologi nuklir saat ini sudah memasuki generasi kelima. Lucunya, yang membesar-besarkannya adalah mereka yang tak paham tentang nuklir dan para politisi serta pemerintah terpengaruh,” papar anak muda yang tak sempat saya catat namanya ini. Sementara rencana PLTN Gunung Muria Jawa Tengah terus menerus menjadi wacana. Kita tampaknya harus menunggu lebih lama kehadiran sebuah reaktor nuklir untuk ketersediaan listrik sebab Dewan Energi Nasional merekomendasikan kepada Presiden bahwa nuklir adalah pilihan terakhir. Sementara Rusia bisa mengejar ketertinggalan dari negara-negara Eropa lainnya karena ketersediaan energi yang melimpah dan nuklir adalah jawabannya.
Dan pembenarannya saya dapatkan pada berbagai sektor kehidupan pada kota-kota yang saya kunjungi di negara ini. St. Petersburg salah satunya. Kota yang didirikan Peter I tahun 1703 ini bahkan lebih maju dibanding Moskwa. Petugas hotel dan tulisan diberbagai tempat menulis dua bahasa, Cirilic dan Inggris. Rekomendasi banyak pelancong, St.Petersburg adalah kota yang wajib kunjung selain Praque (Praha) di Ceko dan Vienna Austria terutama bagi mereka yang menyukai sistem tata kota yang sempurna. Saya mengakui itu. Bahkan di musim dingin seperti saat ini saja keindahan St.Petersburg masih bisa terlihat. Apalagi di musim semi. Museum Hermitages yang masuk 15 terbesar di Eropa menuntun kita memahami bagaimana visi kota ini dibangun ratusan tahun lalu.
Duduk memesan Cappuccino di Kafe Kuptsvof Yeliseevjkh (begitulah penulisan nama kafe terbaik di kota St. Petersburg ini) di Jalan Nevskij, kubiarkan imajinasi saya mengembara ke masa lalu Rusia. Sebenarnya saya tak terlalu yakin apakah imajinasi saya ini benar adanya. Saya hanya mengenal Rusia dan novel-novel Rusia yang hebat. Alexander Solzenitzin pada Guag Archipelago atau Boris Pasternak di Dr.Zhivago yang memukau. Atau film-film Hollywood yang sejujurnya saya sangsikan kebenarannya kini.
Patung Peter I yang tertancap kaku kedinginan di Taman Ekaterina persis diseberang kafe tempat saya duduk juga tak cukup banyak meyakinkan tentang kebenaran pengembaraan imajinasi saya. Saya juga tak cukup mendapat banyak penjelasan tentang alasan Lenin yang sempat mengubah nama kota Saint Petersburg menjadi Leningrad. Kisah yang saya dengar, Lenin pernah mencoba menahan pertumbuhan kota ini agar tidak terlalu mencolok dan terjadi ‘keseimbangan pertumbuhan’ dengan kota-kota lain di Rusia.
Cerita tentang wajah Rusia kini dan masa lalu sungguh sebuah permainan imaji yang menyenangkan. Sebab sesungguhnya, demikian kisah Dasep yang datang ke Rusia saat antri pembelian dan penjatahan roti masih berlangsung, Rusia baru berubah total 5-6 tahun lalu saat Putin berkuasa untuk periode kedua. Juga kisah tentang perebutan sebuah gedung yang awalnya dikuasai Gorbachev ditepi sungai yang membela kota Moskwa saat transisi pemerintahan ke tangan Boris Yeltsin. Atau cerita tentang penunjukan Putin sebagai pengganti Presiden Yeltsin sipemabuk yang sangat rahasia dan dengan kesepakatan Putin akan ‘menjaga’ Yeltsin dari jeratan hukuman korupsi dan lainnya setelah lengser.
Entahlah. Waktu menunjuk pukul 21.40 dan saya beringsut keluar, merapatkan penutup kepala, telinga dan leher. Suhu minus 9 derajat dengan feels like minus 17 derajat Celcius multi merusak memori kampung saya. Kelompok pemusik jalanan memainkan folklore Rusia dengan baik. Namun Sungai Neva telah membeku. Gereja Isakievskij bahkan lebih dulu menggigil digigit malam. Kubayangkan anak-anakku telah lelap tertidur di Jakarta sana empat jam lebih dahulu atas perbedaan waktu St.Petersburg - Jakarta. Anakku, negerimu jauh lebih indah dengan alam yang bersahabat. Simpan Indonesia didadamu!
Akbar Faizal (Menulis pada ketinggian 39 ribu kaki antara Moskwa -Doha)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H