Fiqh muamalah sebagai salah satu cabang hukum Islam yang mengatur transaksi ekonomi memberikan pedoman yang jelas mengenai pelaksanaan akad mudharabah, termasuk pembagian keuntungan berdasarkan laba kotor. Akad mudharabah merupakan suatu bentuk kerjasama antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola usaha (mudharib), dimana keuntungan dibagi sesuai kesepakatan awal. Namun ada kalanya pembagian keuntungan berdasarkan laba kotor dapat merugikan salah satu pihak, khususnya mudharib.
Dalam akad mudharabah, pembagian keuntungan berdasarkan laba kotor merupakan hal yang lazim dilakukan. Laba kotor merupakan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya operasional dan pengeluaran lainnya. Bagi hasil berdasarkan laba kotor mengakui kontribusi masing-masing pihak dalam mencapai keuntungan. Namun ada beberapa risiko dan tantangan yang harus diwaspadai.
Biaya operasional yang tidak terduga atau faktor lainnya dapat menyebabkan laba kotor menjadi rendah atau bahkan negatif. Dalam keadaan seperti ini, jika pembagian keuntungan tetap berdasarkan laba kotor, maka mudharib dapat mengalami kerugian finansial yang cukup besar. Kerugian ini bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam yang menekankan pentingnya keseimbangan dan keadilan dalam setiap transaksi ekonomi.
Dalam pandangan fiqih muamalah, penting untuk mempertimbangkan keadilan dan keseimbangan antara pihak-pihak yang terlibat dalam akad. Islam mengajarkan bahwa setiap transaksi harus dilakukan dengan adil, tidak ada pihak yang dirugikan. Jika pembagian keuntungan berdasarkan laba kotor dapat merugikan mudharib, maka perlu mempertimbangkan alternatif pilihan yang lebih adil dan sesuai dengan prinsip syariah.
Salah satu opsi yang bisa diambil adalah dengan mendistribusikan hasilnya berdasarkan laba bersih setelah dikurangi biaya operasional dan pengeluaran lainnya. Pendekatan ini memungkinkan kedua belah pihak untuk berbagi risiko dan manfaat secara lebih proporsional, sesuai kontribusi dan tanggung jawab masing-masing. Dengan cara ini, keadilan dan keseimbangan dapat lebih terjamin, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kerugian yang tidak adil bagi mudharib.
Selain pengaturan bagi hasil yang adil, komunikasi yang baik dan saling pengertian antara kedua belah pihak juga menjadi kunci suksesnya akad mudharabah. Melalui dialog yang terbuka dan transparan, pemilik modal dan pengelola usaha dapat menemukan solusi yang adil dan bermanfaat bagi semua pihak. Komunikasi yang baik dapat membantu mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan yang mungkin timbul selama masa kontrak, serta memastikan bahwa kesepakatan awal dapat ditaati dengan baik.
Mungkin juga diperlukan perjanjian yang lebih rinci dan fleksibel yang mempertimbangkan kemungkinan perubahan kondisi bisnis dan keuangan yang dapat mempengaruhi pembagian keuntungan. Dalam perjanjian ini, kedua belah pihak dapat menetapkan mekanisme penyesuaian jika terjadi perubahan signifikan pada biaya operasional atau kondisi ekonomi lainnya. Hal ini akan membantu memastikan bahwa kedua belah pihak terus menerima manfaat yang adil dari kolaborasi tersebut.
Meskipun pembagian keuntungan berdasarkan laba kotor dapat menjadi praktik yang adil dalam kontrak mudharabah, penting untuk memperhatikan situasi di mana hal ini dapat merugikan salah satu pihak. Dalam kasus seperti ini, penting untuk menemukan solusi yang sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan Islam, sekaligus memastikan bahwa hak-hak semua pihak dihormati dan dilindungi.
Peraturan yang lebih fleksibel dan adaptif juga diperlukan untuk mengakomodasi perubahan kondisi bisnis dan perekonomian. Peraturan tersebut harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat beradaptasi dengan berbagai situasi yang mungkin terjadi, tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan keseimbangan yang menjadi dasar akad mudharabah.
Kesimpulannya, akad mudharabah merupakan instrumen penting dalam perekonomian Islam yang mengedepankan prinsip keadilan, kemitraan dan keseimbangan. Pembagian keuntungan berdasarkan laba kotor, walaupun lazim, dapat mengakibatkan kerugian bagi mudharib dalam kondisi tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan yang lebih adil, seperti pembagian berdasarkan laba bersih, serta komunikasi dan kesepakatan yang fleksibel antara kedua belah pihak.
Dalam konteks ini, regulasi yang mendukung dan melindungi seluruh pihak yang terlibat juga sangat diperlukan. Dengan demikian, akad mudharabah dapat berjalan dengan lancar, menjamin terpeliharanya prinsip keadilan dan keseimbangan dalam Islam, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.