Akhir-akhir sepakbola tanah air sering terjadi bentrok baik antar pemain hingga melibatkan pemain kedua belas alias supporter tim yang berlaga di lapangan. Ntah kebetulan atau tidak sepakbola nasional yang tengah dirundung konflik “kepentingan” akhirnya mau tidak mau membuat supporter juga terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pemicu dari kericuhan yang terkadang berujung tindak anarkis supporter dilatar belakangi oleh beberapa sebab, dari yang paling sering dijadikan alibi yaitu kepemimpinan wasit yang dianggap berat sebelah hingga kesalah pahaman karena merasa klubnya dizalimi oleh pihak pembuat kebijakan/pemegang otoritas.
Yang terkadang semakin membuat provokasi dan suasana semakin panas tidak hanya berasal dari supporter yang terlibat kericuhan namun juga pihak pengaman (saya tidak menyebutkan pihak tertentu loh) di lapangan juga mempunyai “andil” sebagai pemicu kerusuhan. Tindakan yang terkadang kasar dan berlebihan terhadap supporter bukannya membuat supporter berhenti melakukan kericuhan namun malah menambah amarah supporter. Yang sebelumnya hanya kericuhan kecil menjadi sebuah amuk massa besar yang berujung kerusuhan dan tindakan anarkis. Akhirnya supporter juga yang disalahkan, orang berpikiran negatif tentang supporter sepakbola, stigma negatif pun muncul hingga orang yang tidak tahu apa-apa dan hanya ingin mendukung tim pujaannya pun menjadi “korban” stigma masyarakat terhadap supporter bola. Kasihan!
Pernahkah masyarakat menyalahkan panitia pertandingan ketika supporter rusuh? Pernahkah masyarakat menyalahkan pihak pengaman pertandingan ketika terjadi anarkisme supporter? Yang ada masyarakat menyalahkan supporter karena stigma negatif yang telah lama melekat. Masyarakat menilai supporter adalah kumpulan orang yang tidak mempunyai pekerjaan sehingga mengurusi urusan yang menurut mereka tidak berguna.
Beberapa waktu lalu hari yang lalu saya mendengarkan langsung dari Andi Bachtiar Yusuf yang kurang lebih intinya menjadi supporter di Indonesia berbeda dengan menjadi supporter di luar negeri sana. Di luar negeri menjadi supporter atau menonton bola hanyalah bagian dari gaya hidup, termasuk menjadi ultras dan Hooligans di luar negeri itu menjadi sebuah paham. Berbeda dengan di Indonesia, supporter menjadi sebuah tempat untuk menyalurkan emosi, berekspresi, mendukung klub pujaan dengan berbagai cara hingga menjadi sebuah fanatisme.
Paham primordialisme (merasa budayanya lebih baik dari budaya orang lain, bisa disebut paham kedaerahan) yang begitu kental di Indonesia membuat fanatisme supporter terhadap klub semakin tinggi dan semakin membuat peluang kericuhan hingga kerusuhan terjadi semakin besar.
Sangat jarang terdengar oleh saya bahkan mungkin oleh anda sekalian berita mengenai pendekatan persuasif yang dilakukan oleh pihak kemanan dan pihak terkait untuk mencegah terjadinya kerusuhan dan tindak anarkis supporter. Gunakan bahasa supporter, bahasa perdamaian. Jangan gunakan bahasa kekerasan, bahasa tendangan, bahasa pentungan dan sejenisnya yang semakin memicu api kemarahan supporter. Terkadang memang tindakan refresif berhasil membubarkan massa dan mencegah kerusuhan, tetapi itu sedikit dari banyaknya kerusuhan. Massa bubar, kerusuhan tidak jadi bukan berarti permasalahan selesai. Namun disinilah masalah muncul ketika bubar karena ketakutan dan terancam supporter bubar dengan meninggalkan dendam dan kebencian terhadap pihak terkait, terutama pihak keamanan yang akan mereka anggap mengancam eksistensi supporter dan menjadikannya musuh yang harus dilawan. Akhirnya ketika terjadi kerusuhan dan bahasa kekerasan dipergunakan lagi supporter tidak takut lagi karena dendam kesumat yang selama ini dipendam ditambah oleh provokasi yang terjadi di lapangan.
Gunakan bahasa supporter, bahasa perdamaian. Dengarkan suara supporter, dengarkan apa yang supporter inginkan, diskusikan sehingga bisa diterima oleh semua pihak. Jangan menjadikan supporter sebagai kambing hitam dan biang keladi tiap kerusuhan sepakbola. Semua harus introspeksi diri. Jangan hanya supporter saja yang disuruh damai, tetapi semua elemen sepakbola juga harus damai. Semua harus mengerti dan paham bahasa supporter Indoensia yang begitu fanatik, tidak bisa asal pentung, asal tendang saja.
Supporter sejati adalah orang yang meletakkan perdamaian di atas segalanya. We Just Supporter, Not Trouble Maker!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H