Pernah baca novel "The Myth of Sisyphus" karya Albert Camus belum nih, readers? mungkin bagi para mahasiswa novel tersebut bagaikan hidangan pertama di meja makan, ya! Pasalnya tokoh fiktif dalam novel ini yang sering kita dengar yaitu "Sisyphus", Camus menggambarkan Sisyphus sebagai tokoh mitologi Yunani yang dihukum oleh para dewa untuk menggulung sebuah batu besar ke puncak bukit, hanya untuk melihat batu besar itu berguling ke bawah dan Sisyphus harus mengulangi itu selamanya.Â
Albert Camus mengeksplorasi tema eksistensialisme dan absurditas dalam novel ini. Hal ini sangat berkaitan dengan kehidupan mahasiswa yang kaffah menjalani kehidupan yang absurd. Loh, emang seperti apa kehidupan yang absurd itu? Apa tolak ukurnya?Â
Pasti akan timbul pertanyaan-pertanyaan serupa dengan itu dan saya yakin akan banyak pertanyaan lagi setelahnya, jika betul seperti itu saya bisa sangat yakin lagi, kalau anda sendiri adalah mahasiswa yang betul-betul absurd. Hah? Kok gitu?! Â Jawaban saya adalah "untuk apa mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas-jelas menerangkam sesuatu yang memang absurd". Jawaban tersebut memang terkesan tak memuaskan, tapi tak apa, namanya juga absurditas.
Dalam menjalani kehidupan sebagai mahasiswa, kita tak pernah jauh dengan kata perjuangan, tantangan, dan harapan. Hal itu, terbukti dengan realitas kehidupan mahasiswa yang harus menyelesaikan tugas-tugas akademik dengat tepat tanpa telat, mengikuti organisasi biar gak dikatain mahasiswa kupu-kupu, ada yang sambil bekerja dan tak sempat baca notif tugas di WA, ada juga yang sibuk nyari koneksi sana-sini demi karir dikala lulus nanti, tak banyak pula yang sambil berdagang untuk menghidupi diri.Â
Dalam hal tersebut, mahasiswa dibenturkan dengan realita bahwa selain memenuhi tuntutan akademik mereka juga harus memenuhi tuntutan kehidupan yakni, memenuhi kebutuhan sembari mengejar tujuan hidupnya.
Mahasiswa kerap kali merasa tertekan oleh tekanan sosial dan akademik. Mereka harus berjuang menyeimbangkan tugas akademik, prestasi, dan kehidupan pribadi. Bak berjalan diatas treadmil yang tak berhenti, mahasiswa sering merasa seperti mereka harus menyelesaikan tugas yang berulang dalam upaya untuk mencapai tujuan mereka. Sama seperti Sisyphus yang dihukum untuk melakukan tugas yang sama secara berulang, tentunya akan jengah juga.
Selain itu, Camus menggambarkan Sisyphus sebagai tokoh yang tidak memiliki harapan dan makna dalam hidupnya. Keadaan seperti itu, terkadang sering dialami oleh mahasiswa disaat merasa tertekan secara mental dan kehilangan arah ketika mereka tidak memiliki tujuan yang jelas atau, tidak dapat melihat arti dari apa yang mereka pelajari dan lakukan di kampus.Â
Namun, seperti Sisyphus yang terus menggulung batu meskipun mengetahui bahwa tindakan itu sia-sia, mahasiswa juga terus berjuang meskipun mereka menyadari bahwa keberhasilan mungkin tidak menjamin kebahagiaan atau kesuksesan. Dalam hal ini, mahasiswa dan Sisyphus sama-sama berjuang dengan absurditas kehidupan dan kesulitan mencari makna dalam tindakan mereka.Â
Namun,  seperti yang disimpulkan oleh Camus, keberanian untuk menerima absurditas kehidupan dan terus berjuang adalah sifat  yang penting untul meraih kebahagiaan dan kesuksesan sejati.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H