Mohon tunggu...
AKA JUAINI
AKA JUAINI Mohon Tunggu... -

Fasilitator suara rakyat adalah pejuang demokrasi...mari kita bekerja demi Pemilu yang jujur, adil, langsung, umum, rahasia, dan bermartabat...salam Demokrasi.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Sisi Lain Nelson Mandela dan Aung San Suu Kyi

13 November 2013   22:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:12 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Sisi Lain Nelson Mandela dan Aung San Suu Kyi

Oleh : Aka Juaini

Aung San Suu Kyi tokoh wanita dari Myanmar diakui perjuangannya oleh Parlemen Eropa dengan diraihnya penghargaan Sakharov. Penghargaan Sakharov diberikan Parlemen Eropa setiap tahun sejak 1988 kepada orang yang memperjuangkan hak asasi. Nama penghargaan itu diambil dari nama ilmuwan dan aktivis HAM Rusia, Andrei Sakharov. Aung San Suu Kyi yang juga peraih nobel perdamaian tahun 1991 ini sendiri merupakan sekretaris Jenderal Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy, NLD), aktivis pejuang demokrasi dan hak-hak sipil dan politik di Myanmar.

Sebelumnya seorang aktivis HAM, Nelson Mandela juga mendapatkan penghargaan yang sama. Nelson Rolihlahla Mandela begitulah nama panjangnya berhasil menghapus pangaruh apartheid dengan membrantas rasisme, kemiskinan, dan kesenjangan yang pada akhirnya terbentuk sebuah rekonsiliasi rasial. Dia sangat dicintai oleh rakyat atas perjuangannya, yang pada akhirnya membawa dirinya sebagai presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan dalam sebuah pemilu multi ras.

Para kritikus sayap kanan menyebut Mandela sebagai teroris dan simpatisan komunis. Meski begitu, ia memperoleh pengakuan internasional atas sikap anti-kolonial dan anti-apartheidnya, menerima lebih dari 250 penghargaan, termasuk Hadiah Nobel Perdamaian 1993, Medali Kebebasan Presiden Amerika Serikat, dan Order of Lenin dari Uni Soviet. Ia sangat dihormati di Afrika Selatan dan lebih dikenal dengan nama klan Xhosa-nya, Madiba atau tata. Nelson Mandela sering dijuluki "bapak bangsa".

Aung San Suu Kyi dan Nelson Mandela dalam perjuangannya juga pernah merasakan tangan besi penguasa. Suu Kyi mendekam 15 tahun dalam tahanan rumah, sedangkan mandela mendekam dalam penjara Pretoria ke pulau Robben selama 27 tahun demi perjuangannya. Sungguh sebuah perjuangan yang sangat berat. Aung San Suu Kyi hanya menjadi tahanan rumah, sedangkan Mandela mendekam di penjara yang lembab.

Meski sama-sama peraih penghargaan Sakharov Aung San Suu kyi dan Nelson Mandela merupakan dua tokoh dengan dua sisi mata uang. Meski sama-sama pejuang HAM, Nelson Mandela berjuang sampai akhirnya dapat menghapus apartheid dengan membrantas rasisme, kemiskinan, dan kesenjangan yang pada akhirnya terbentuk sebuah rekonsiliasi rasial. Dengan sebuah rekonsiliasi rasial akan membentuk sebuah persatuan dan keutuhan bangsa di Afrika Selatan, serta tokoh yang sangat dihormati di Afrika Selatan bahkan di Dunia. Berbeda dengan Aung San Suu Kyi, setelah bebas dari tahanan rumah dan diperbolehkan oleh Junta Militer Myanmar ikut serta dalam pemilu dan berakhir bagi dirinya menduduki kursi parlemen, Suu Kyi berubah. Demokrasi yang didenggungkan Suu Kyi mendapat cibiran dari masyarakat dunia. Wanita tangguh itu yang rela melawan kekuasaan Junta Militer Myanmar selama hampir 50 tahun tersebut gagal dan tidak mampu memperjuangkan kaum minoritas dan keyakinan yang selama ini diperjuangkannya, bahkan dari steatment yang dikeluarkannya akan mengakibakan terjadinya disintegrasi rasial bagi bangsa Myanmar. Rasisme terjadi dimana-mana yang pada akhirnya menjadi aksi kekerasan. Kekerasan ini bukan hanya dialami oleh etnis Muslim Rohingya, tetapi juga kelompok Kachin dan wilayah lainnya menyuarakan ketidakadilan. Penghargaan Nobel Perdamaian, Sakharov bagi Suu kyi seperti doping yang bisa ditarik kembali meski hal tersebut tidak mungkin terjadi.

Bantahan Suu Kyi atas temuan kelompok Human Rights Watch (HRW) yang menyatakan kekerasan yang dialami Rohingya adalah pemusnahan etnis, adalah perubahan sikap dan arah perjuangan Suu Kyi. Demokrasi yang diperjuangkannya selama ini tidak terbukti setelah dia mendapatkan kedudukan yang layak, dan tidak merasa malu atas sikapnya yang membantah temuan HRW April 2013, Muslim Rohingya saat ini berada dalam tekanan dan sekira 142.000 dari mereka terpaksa tinggal di tempat penampungan. Selain itu, Muslim di Myanmar juga tidak memiliki kekuatan politik.

Berbeda dengan Mandela yang bersikap seperti "otoritas moral' yang bersikap peduli dan ramah dan mengeluarkan steatment yang berpihak dan tidak menyakiti siapa pun, sikap Suu Kyi sebagai peraih penghargaaan Sakharov sungguh berbeda. Dalam wawancara dengan BBC Suu Kyi menyebut Muslim yang berhasil berintegrasi dengan warga Myanmar dianggapnya membuat banyak pihak merasa tidak nyaman. Dia menilai kekerasan yang dilakukan oleh warga Buddha di Myanmar adalah sebuah ketakutan atas kekuatan Muslim global. Ini adalah ucapan berbahaya yang diutarakan oleh sosok dengan kaliber peraih Nobel Perdamaian. Rohingya tidak memiliki kaitan dengan kelompok ekstrimis semacam Al Qaeda. Bila Suu Kyi menilai Rohingya sebagai bagian dari pergerakan kekuatan Muslim global, maka sudah sepatutnya tokoh demokrasi itu segera mengubah pandangannya.

Berbeda dengan Mandela yang sangat dicintai oleh rakyat Afrika Selatan, Suu Kyi sendiri mulai ditolak di negaranya sendiri. Sikapnyayang mulai tidak berpihak pada kepentingan rakyat menjadi cambuk bahwa sikap seseorang pasti dan akan berubah bila diberi kekuasaan. Sikap Suu kyi penulis nilai sebuah sikap kemunduran, memang seseorang (manusia) pada suatu masyarakat dalam hidupnya seseorang itu bisa berlaku gerakan kemajuan atau gerakan kemunduran. Sikap seseorang bisa bertukar dari revolusioner menjadi konservatif atau anti-revolusioner atau sebaliknya dari konservatif bertukar menjadi revolusioner. Yang menjadi pendorong dalam pertukaran paham itu biasanya perjuangan kelas dalam masyarakat itu. Suu Ski telah menderita selama 15 Tahun dalam tahanan rumah,hal ini sungguh berat bagi wanita seperti Suu Kyi, dan dia tidak mau menderita lagi. Penulis juga menilai, sebenarnya Suu Kyi tidak berhati baja dan konsekwen. Wataknya mudah diombang-ambing oleh sentimen (perasaan) serta hawa nafsu diri sendiri atau pengaruh dari luar, orang seperi ini biasanya kalau bertemu dengan rintangan mudah sekali bertukar warna dan memilih keuntungan sementara untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Kebanyakan tokoh politik Indonesia berwatak seperti ini. Berbeda dengan Mandela yang konsekuen mempertahankan ideologi dan perjuangannya, jujur terhadap pandangan kedepan sehingga dihormati dan dicintai oleh rakyatnya. Masih adakah tokoh di Indonesia seperti Nelson Mandela ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun