Mohon tunggu...
abubakr saleh
abubakr saleh Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa geologi yang tak lulus lulus, tapi mempunyai ambisi menjadi penulis handal...doa para pembaca sangat berperan disini...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

The Gods Must be Crazy, Erich Fromm dan Modus Eksistensi

16 Mei 2014   22:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:27 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

The Gods Must be Crazy, Erich Fromm dan Modus Eksistensi

"They must be the most contented people in the world. They have no crime, no punishment, no violence, no laws, no police, judges, rulers or bosses. They believe that the gods put only good and useful things on the earth for them to use."

Kutipan tersebut tentu menurut kita mungkin hanya ada di surga. Bagaimana rasa hidup tanpa ada aturan, tanpa ada kejahatan, oleh karena itu tak membutuhkan polisi apalagi hakim, jaksa dan semua perangkat pengadilan. Apa rasanya hidup tanpa perlu segan dan takut dimarahi bos. Dan apa rasanya hidup dengan perasaan bahwa Tuhan telah memberikan semua hal yang dibutuhkan untuk memenuhi semua syarat yang disebut BAHAGIA.

Mungkin tidak selalu surgalah tempat dimana kejahatan dan peraturan itu tak mendapatkan tempat. Sebenarnya, kalau anda percaya, kutipan itu ditujukan pada suatu tempat dipedalaman suatu negara. Nama tempat itu Kalahari. Entahlah di negara mana itu, lebih baik anda menonton langsung film yang berjudul The Gods Must be Crazy, jadi saya tak perlu lelah untuk membuktikannya. Di film itulah tempat itu diadakan. Alhasil sebuah komunitas kecil tumbuh di wilayah yang disebut kalahari itu. Dan tentu saja sangat makmur dan bersahaja.

Tapi, iya, mereka makmur. Bukan karena kelebihan harta. Justru mereka makmur karena tak ada satupun yang harus diributkan dan direbutkan untuk dimiliki. Di Kalahari hanya ada pohon, padang pasir, rumput dan sejumlah binatang liar. Barang yang paling keras yang mereka punya yaitu tulang dan kayu.

Sampai suatu saat, rupanya, Tuhan ingin menguji mereka. Karena apa enaknya hidup tanpa pernah naik pangkat. Tuhan kan telah berjanji untuk menguji setiap ciptaannya, terutama manusia. Maka jatuhlah sebuah benda dari langit, tepatnya dari pesawat kecil, dibuang oleh penumpangnya. Mereka bilang benda itu harta dari Tuhan. Anugerah. Harta yang berharga itu adalah sebuah botol. Apa hebatnya sebuah botol? Tentu menurut mereka, lebih hebat dari yang mereka punya. Lebih kuat dari yang tulang dan kayu bisa. Dan tentu saja yang terpenting, botol itu telah membuat mereka bertikai, ciri masyarakat beranjak modern karena ada setitik rasa memiliki muncul di hati mereka.

Rupanya mereka tak lulus uji.

Mengapa tak lulus uji? Kita mulai dari analisa Erich Fromm. Menurut Erich Fromm, bencana yang sering menimpa dunia yang dihuni masyarakat modern adalah adanya rasa memiliki. Maksudnya keinginan yang berlebihan untuk memiliki sesuatu yang sejatinya belum sangat diperlukan. Masyarakat modern berfikir bahwa mereka ada karena memiliki. Erich Fromm menyebutnya dengan istilah modus eksistensi memiliki. Tobe is to have. Status mereka diukur dengan jumlah yang mereka miliki. Perjuangan hidup pun adalah perjuangan untuk menambah daftar barang yang dimiliki. Padahal menurut Dewi Dee Lestari, atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju dalam setahun, bahkan lebih. Disebut sebagai acquistive society, masyarakat yang rakus dan serakah untuk memiliki. Inilah yang disebut sebagai a basis for the having mood, yaitu dasar kehidupan memiliki, lantaran memiliki, mempunyai dan mengambil untung dianggap sebagai hak suci bagi setiap individu dalam masyarakat industri.

Dan seketika masyarakan Kalahari menjadi modern dengan kehadiran sebuah botol ditengah tengah mereka, yang mereka anggap anugerah dari Tuhan. Botol yang banyak fungsi dan menciptakan pertikaian.

Masyarakat modern kala ini bisa dipastikan tak beda dengan komunitas kalahari itu. Amerika menginvasi Irak hanya semata masalah botol yang berisi minyak. Atau berang terhadap Iran hanya karena Amerika saja yang boleh memiliki botol berisi uranium yang bisa menjadi energi nuklir. Jadi apa bedanya? Sama-sama primitif.

Sigmund Freud malah lebih kejam. Waktu membahas tingkat-tingkat perkembangan manusia, Ia menyamakan orang-orang yang masih memperebutkan atau asyik mengumpulkan kekayaan seperti tingkat kedua perkembangan anak. Yaitu tahap anal. Asyik mempermainkan, menonton dan mengumpulkan apa yang dihasilkannya. Seperti anak-anak yang mempermainkan kotoran yang keluar dari perutnya. Ia bekerja keras hanya untuk menumpuk kekayaan, hanya untuk mempermainkan anugerah Tuhan yang diberikan karena kerja kerasnya semata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun