Pakaiannya kumuh. Sangat gelandangan. Tidur disembarang tempat. Bukan tidur tepatnya, tapi terkapar. Terkapar karena mabuk berat. Tapi dia seorang superhero. Dia mungkin satu-satunya superhero yang tidak necis. Satu-satunya superhero yang kurang ajar.
Bahkan ketika menumpas kriminalitaspun terkadang dengan cara tidak santun dan merugikan. Patut disayangkan memang. Karena itu, seorang konsultan public relation yang kerap mengemas pencitraan sesuatu menjadi lebih baik merasa terpanggil untuk merubah Hancock. Agar dicintai publik, konsultan itu beberapa kali meyakinkan Hancock bahwa pada dasarnya masyarakan mencintainya. Membutuhkannya dalam menumpas kejahatan.
Akhirnya untuk meyakinkan Hancock dan menyadarkan masyarakat, sang konsultan menyuruh Hancock masuk penjara saja. Walaupun dengan amat sangat mudah Hancock bisa kabur dari sel.
Hingga masyarakat sadar bahwa polisi kurang cakap memberantas kriminalitas, dan Hancockpun disebut-sebut masyarakat. Dielu-elukan dan dirindui.
Hanya saja, sikap harus dirubah. Disinilah usaha yang panjang dari sang konsultan untuk merubah Hancock dipertaruhkan. Yang akhirnya sang konsultan bersorak-sorak keriangan karena Hancock berhasil merubah sikapnya.
Kita pindah berpuluh ribu kilometer dari setting film Hancock di Newyork sana menuju Jakarta. Sama-sama macet. Sama-sama penuh kriminalitas. Ketika para penegak hukum tak berkutik lagi memberantas para perampok santun, muncullah sesosok superhero yang mirip Hancock. Tidak santun, kerap mengeluarkan kalimat yang tak enak didengar. Taik, nenek lu, bajingan, munafik dan sebagainya. Tapi dia memberantas kejahatan, dalam hal ini korupsi yang akut.
Maka, bijaknya, kita harus pandai memilah. Ketika sikapnya yang kurang diterima itu membuat dia harus dilengserkan, itu juga tak bijak. Kelak, ketika ia dilengserkan, kita akan rindu dengan sikap kokohnya memberantas kriminalitas. Oleh karena itu, seperti Hancock, sang superhero yang gubernur dan beretnis cina itu harus diluruskan sikap tak santunnya, sambil terus mendukung sikap kokohnya menumbangkan korup. Bukankah akhirnya Hancock meminta maaf? Walaupun emosi sang gubernur sudah tak terbendung hingga akhirnya mengeluarkan kata-kata kotor, pada akhirnya beliau meminta maaf juga. Ini sudah baik. Walau pada awalnya saya tak setuju dengan permintaan maaf gubernur. Maksud saya tak perlu minta maaf, karena orang-orang itu layak menerima umpatan bahkan yang lebih jorok dari itu..
Hingga saya membaca sebuah kisah. Ketika Imam Hasan dicaci oleh seseorang, Ia diam saja. Seorang anak Imam berusaha membujuk Ayahnya untuk membalas serangan cacian itu. "Kakekku, Ayah dan Ibuku tak pernah mengajarku cara mencaci. Aku tak tahu caranya," kata Imam Hasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H