Mohon tunggu...
abubakr saleh
abubakr saleh Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa geologi yang tak lulus lulus, tapi mempunyai ambisi menjadi penulis handal...doa para pembaca sangat berperan disini...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Best Achievement

13 Agustus 2014   16:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:40 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

CEO Chevron itu akhirnya meninggalkan kenyamanan hidup yang mengelilinya selama ini. Abdul Hamid Batubara dipaksa oleh nurani untuk turun tangan mengajar di pedalaman. Dari seorang Presiden Komisari Chevron Indonesia yang biasanya "dilayani", kini harus rela "melayani" orang yang ingin memungut motivasi dan pelajaran hidup. "saya punya passion untuk memotivasi," kata Abdul Hamid.

Bila ingin sedikit memaksakan makna, maka passion itu senada dengan fitrah. Akhirnya kita membenarkan bahwa fitrah manusia itu adalah menjadi yang terbaik di dunia dan menjadi yang terdepan di akhirat kelak. Dalam bahasa agama, orang yang mengikuti fitrah kebaikan itu masuk dalam kategori manusia yang dikatakan terbaik oleh Allah dan Rasulnya ialah "yang bermanfaat untuk orang lain". Apapun itu bentuknya.

Pencapaian pencapaian hidup itu haruslah kita arahkan menuju kesana. Kesejatian manusia mau tidak mau pada akhirnya harus kita lihat dari seberapa bermanfaatnya dia buat orang lain. Sederet gelar yang mentereng mungkin menjadi tak berguna bila ia tak bermanfaat bagi orang disekitarnya. Karena pada satu titik gelar gelar itu akan terlalu tak bergunanya. Yang berguna adalah sumbangsih.

Bagi Aristoteles, nilai guna suatu objek didasarkan pada sumbangsihnya untuk mencapai hidup yang baik. Inilah hakikat hidup yang baik (good life) yang telah sering dihempaskan oleh -salah satunya- keinginan keinginan yang tak terbendung. Harusnya kebergunaan kita bagi orang lain adalah prinsip untuk mendukung apa yang sejatinya fitrah inginkan.

Menurut Robert Skidelsky dan Edward Skidelsky, dalam buku "How Much is Enough: Money and the Good Life", tersapunya ide good life—yang pernah digagas oleh Aristoteles dan juga disuarakan oleh perbagai agama serta kebijaksanaan tradisional di pelbagai penjuru dunia-- juga mereduksi hakikat kehidupan yang diharapkan (desirable life) menjadi sekadar gaya hidup yang dikehendaki (desired lifestyle). Reduksi ini berpengaruh pada pembedaan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan bersifat objektif dan mengacu pada syarat untuk mencapai hidup yang baik. Sebaliknya, keinginan merupakan gejala psikologis yang “ada di kepala” orang yang bersangkutan.

Dihilangkannya ide hidup yang baik akan mendudukkan kebutuhan sebagai salah satu kategori keinginan.

Kedua, pembedaan antara keperluan dan kemewahan. Keperluan adalah hal-hal yang dibutuhkan untuk mencapai hidup yang baik. Di sisi lain, kemewahan merupakan hal-hal yang diinginkan tetapi tidak dibutuhkan. Jika tidak ada ide hidup yang baik, maka “keperluan” dapat mengacu pada tuntutan peran sosial tertentu.

Ketiga, adalah konsep “cukup”. Bagi Aristoteles, “cukup” itu berarti “cukup untuk mencapai hidup yang baik”. Namun, bagi ekonom modern, “cukup” itu berarti “cukup untuk memuaskan keinginan”. Dengan demikian, pertanyaan “berapa banyakkah cukup itu?” dapat dijawab dengan “berapa banyakkah yang Anda inginkan?” seraya mengangkat bahu. (dicopy dari tulisan Alfathri Adlin).

Maka bila mengacu pada pemaparan diatas, sudah sewajarnya kita mengeluh bahwa prinsip untuk mengedepankan ide hidup yang baik mungkin tak berhasil sempurna. Banyak yang masih bangga dengan merk dan brand mahal ternama. Banyak yang masih terkagum kagum dengan sederet gelar akademis yang memenuhi kertas. Banyak yang masih menganggap terbelakang orang yang tak duduk di instansi tertentu atau perusahaan mentereng. Dan menilai orang dari status, merk, gelar dan simbol simbol itu.

Padahal prinsip ide good life yang tak sejalan dengan hati nurani dan fitrah telah terbukti menyengsarakan dan menghancurkan. Tak sedikit contoh yang membuktikan itu. Harakiri di jepang adalah contoh dari kegagalan meraih pencapaian-pencapain yang diinginkan. Prinsip "Ubber Alles" atau ras tertinggi yang dipegang teguh oleh Jendral tertinggi Jerman juga pada akhirnya menyisakan kenangan yang diakhiri dengan matinya Hitler yang menembak dirinya sendiri. Singkat kata prinsip ini bertolak belakang dengan apa yang diajarkan dan dicontohkan junjungan kita Nabi Besar Muhammad saaw yang lebih mengedepankan prinsip makna hidup yang bertumpu pada spritualitas. "Dan hendaklah ada diantara kamu suatu umat yang menyeru untuk berbuat kebaikan, menyuruh orang melakukan yang benar, serta melarang yang mungkar. Merekalah orang yang mencapai kejayaan" (QS Ali 'Imran 104)

Mari merenung sobat! Apa sih yang kita cari dalam hidup ini? Mimpi mimpi apa sih yang kita ingin capai? Kekayaan, gelar mentereng atau kemewahan hidup sah sah saja untuk didapatkan, tapi bagaimana setelahnya? Setelah semuanya tercapai, lalu apa? Puas, senang, pensiun, lalu mati. Hanya itukah? Tanpa dikenang? Faktanya banyak manusia yang tak pernah puas. Nyatanya, semua yang dimiliki tak selalu membuat tenang. Dunia begitu singkat kita lalui sobat. Maknailah, bernilailah. Seperti matahari yang terus menyinari walupun tak ada yang memuji. Seperti harum bunga yang terus ada walaupun terpatahkan tangkainya. Seperti Haidar Bagir yang berpesan, "Berusaha bersyukur dalam setiap kondisi, raih, kejar prestasi (setinggi-tingginya) agar bisa lebih berbagi."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun