Mohon tunggu...
abubakr saleh
abubakr saleh Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa geologi yang tak lulus lulus, tapi mempunyai ambisi menjadi penulis handal...doa para pembaca sangat berperan disini...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

The Gods Must be Crazy, Erich Fromm dan Modus Eksistensi

16 Mei 2014   22:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:27 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kembali ke Erich Fromm, harusnya manusia memakai modus eksistensi menjadi (bukan memiliki) dalam perkembangan hidupnya. Berproses untuk lebih menjadi manusia. Senada dengan Fromm, Ali Syariati menjelaskan dengan merujuk AlQuran bahwa Tuhan memakai tiga kata dalam kitab suci yang berarti manusia. Ada basyar, nas, dan insan. Ketiga kata itu berarti manusia. Tapi mempunyai makna yang berbeda. Basyar adalah manusia biologis, nas menunjuk manusia yang mempunyai interaksi dengan sesama makhluk ciptaan, dan insan adalah yang termulia, yang selalu-dalam bahasa Syariati-mendialetikan antara lempung kotor dan ruh Tuhan. Apalagi pada kata Insan ditambahkan kata kamil, sempurna. Syariati dan Fromm sepakat bahwa yang harus kita upayakan dalam universitas hidup ini adalah bagaimana meraih gelar insan kamil. Yaitu manusia menjadi.

Bahkan dalam cinta, Fromm menyatakan tak ada kata memiliki didalamnya. Kita tak memiliki wanita atau pria yang kita cintai. Kita mencintai dia karena dia membawa dan mengarahkan kita untuk mencintai alam semesta beserta interaksi didalamya. Dengan begitu keterpisan tak munkin jadi problem, karena rasa keterpisahan disebabkan oleh adanya rasa memiliki. Botol direbutkan dengan sengit, dipeluk, digenggam erat karena takut akan keterpisahan. Kecintaan terhadap botol baru pada taraf ingin memiliki sepenuh hati. 1400 tahun yang lalu Nabi yang mulia sudah mengingatkan dengan tegas, "bahkan terhadap istri, kalian tidak memiliki mereka sedikitpun.”

Tentu kita boleh memiliki sesuatu. Yang dipermasalahkan orang-orang besar itu adalah sikap terhadap kepemilikan itu. Disinilah ciri modus eksistensi menjadi itu harus kita munculkan. Bahwa apa yang kita miliki sejatinya bisa mengarahkan kita menjadi lebih baik. Apa yang kita miliki adalah bagian dari proses untuk perbaikan diri kita. Perbaikan diri kita adalah puncak kebahagiaan. Mobil yang kita miliki harus membantu kita meraih kebahagiaan itu. Tentu bukan karena kita memiliki mobil kita bahagia, tapi apa yang bisa diperbuat mobil itu untuk mewujudkan cita-cita perbaikan diri itu, hingga kita menjadi bahagia. Dan seterusnya dan seterusnya.

Ada beberapa buku yang lebih bisa menjelaskan permasalahan ini dengan komprehensif. Saya hanya pengutip yang dengan setengah mati ingin menggunakan kalimat yang diterbitkan otak dari memahami buku-buku itu. Agar saya tak dikatakan menganut mazhab modus eksistensi memiliki saya akan sebutkan saja, ada buku Meraih Cinta Ilahi dan Jalan Rakhmat, keduanya di tulis oleh Kang Jalal, ada buku Ali Syariati yang berjudul Peran Cendikiawan Muslim, dan buku The Art of Love-nya Erich Fromm, dan dari beberapa situs dengan kata kunci Erich Fromm.

Termasuk kata-kata terakhir ini, saya kutip dari Fromm, "Keserakahan adalah jurang maut yang memaksa orang untuk berupaya tanpa henti demi memenuhi kebutuhan tanpa pernah mencapai kepuasan."

absb, 16 mei 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun