Kembali ke Erich Fromm, harusnya manusia memakai modus eksistensi menjadi (bukan memiliki) dalam perkembangan hidupnya. Berproses untuk lebih menjadi manusia. Senada dengan Fromm, Ali Syariati menjelaskan dengan merujuk AlQuran bahwa Tuhan memakai tiga kata dalam kitab suci yang berarti manusia. Ada basyar, nas, dan insan. Ketiga kata itu berarti manusia. Tapi mempunyai makna yang berbeda. Basyar adalah manusia biologis, nas menunjuk manusia yang mempunyai interaksi dengan sesama makhluk ciptaan, dan insan adalah yang termulia, yang selalu-dalam bahasa Syariati-mendialetikan antara lempung kotor dan ruh Tuhan. Apalagi pada kata Insan ditambahkan kata kamil, sempurna. Syariati dan Fromm sepakat bahwa yang harus kita upayakan dalam universitas hidup ini adalah bagaimana meraih gelar insan kamil. Yaitu manusia menjadi.
Bahkan dalam cinta, Fromm menyatakan tak ada kata memiliki didalamnya. Kita tak memiliki wanita atau pria yang kita cintai. Kita mencintai dia karena dia membawa dan mengarahkan kita untuk mencintai alam semesta beserta interaksi didalamya. Dengan begitu keterpisan tak munkin jadi problem, karena rasa keterpisahan disebabkan oleh adanya rasa memiliki. Botol direbutkan dengan sengit, dipeluk, digenggam erat karena takut akan keterpisahan. Kecintaan terhadap botol baru pada taraf ingin memiliki sepenuh hati. 1400 tahun yang lalu Nabi yang mulia sudah mengingatkan dengan tegas, "bahkan terhadap istri, kalian tidak memiliki mereka sedikitpun.”
Tentu kita boleh memiliki sesuatu. Yang dipermasalahkan orang-orang besar itu adalah sikap terhadap kepemilikan itu. Disinilah ciri modus eksistensi menjadi itu harus kita munculkan. Bahwa apa yang kita miliki sejatinya bisa mengarahkan kita menjadi lebih baik. Apa yang kita miliki adalah bagian dari proses untuk perbaikan diri kita. Perbaikan diri kita adalah puncak kebahagiaan. Mobil yang kita miliki harus membantu kita meraih kebahagiaan itu. Tentu bukan karena kita memiliki mobil kita bahagia, tapi apa yang bisa diperbuat mobil itu untuk mewujudkan cita-cita perbaikan diri itu, hingga kita menjadi bahagia. Dan seterusnya dan seterusnya.
Ada beberapa buku yang lebih bisa menjelaskan permasalahan ini dengan komprehensif. Saya hanya pengutip yang dengan setengah mati ingin menggunakan kalimat yang diterbitkan otak dari memahami buku-buku itu. Agar saya tak dikatakan menganut mazhab modus eksistensi memiliki saya akan sebutkan saja, ada buku Meraih Cinta Ilahi dan Jalan Rakhmat, keduanya di tulis oleh Kang Jalal, ada buku Ali Syariati yang berjudul Peran Cendikiawan Muslim, dan buku The Art of Love-nya Erich Fromm, dan dari beberapa situs dengan kata kunci Erich Fromm.
Termasuk kata-kata terakhir ini, saya kutip dari Fromm, "Keserakahan adalah jurang maut yang memaksa orang untuk berupaya tanpa henti demi memenuhi kebutuhan tanpa pernah mencapai kepuasan."
absb, 16 mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H