BENGKEL CINTA
"Sama-sama."
Sudah puluhan kali aku melihatnya mengucapkan balasan terima kasih orang. Pengguna jasanya lebih tepatnya. Bengkel tempatnya bermandi keringat dan oli memang tak begitu ramai. Bukan karena dia tidak ahli memperbaiki kendaraan bermotor, tapi mungkin karena keramahan dan keenggenannya menagih pembayaran dari kerja kerasnya. Hal itu membuat orang malu menggunakan jasanya. Bukan tak dibayar sama sekali, walaupun ada yang seperti itu. Namun pembayaran tak layak itu yang sering terjadi. Pelajaran aku temukan dari semua itu bahwa keramahan dalam bisnis membuat kita miskin.
Dunianya adalah dunia mesin. Segala hal yang berbau mesin selalu menarik perhatiannya. Seperti bintang di langit bagi para nelayan. Kecakapannya pada bidang ini hingga membuatnya mampu berinovasi. Dia seperti ada ikatan emosional dengan dunia permesinan. Tak jarang aku menyaksikan dia menghidupkan motor yang telah mati berhari-hari hanya dengan menatap sebentar lalu menyalakannya. Aneh bukan? Iya hanya menatapnya. Beragam pendapatpun terbit tentang kejadian "penatapan" itu. Bagi yang hobi klenik, tentu menganggap itu bantuan jin. Kalangan logis dan matematis menganggap itu hanya akumulasi usaha yang berakhir pada keputus asaan saja. Padahal bila ia tak putus saja tentu motor itu bisa menyala. Kaum psikologis menyikapinya dengan teori sugesti dan para agamawan mengatakan itu hanya pertolongan Tuhan. Aneh aneh memang. Tapi ketika aku tanya kepadanya, ia selalu tersenyum dan menjawab seperti kaum logis menjawab. "Itu seperti batu yang akan hancur dengan seratus kali pukulan, dan Bapak pemukul yang ke seratus," katanya sambil membersihkan karburator motor milik seorang polisi.
Selalu mengasikkan duduk di bengkel itu. Bengkel yang terletak tepat disebelah rumah si Bapak. Rumahnya memang cukup luas. Hasil dari kerja di negeri orang sebagai TKI. Sedikit pekarangan rumahnya didirikannya sebuah bengkel kecil. Bila masuk ke rumah utama Bapak, aku bisa melihat seluruh perabotan orang kaya ada di sana. Mesin cuci merk terbaik, hingga kulkas. Aku belum pernah melihat orang kaya yang punya mesin cuci tiga buah. Di rumah itu aku temukan. Dan berfungsi dengan baik. Video player yang kaset pita berada megah diatas kulkas yang tak terpakai. Kulkas di rumah itu ada dua. Satu difungsikan di dapur. Yang satunya tinggal menunggu ditawar orang. Karenanya untuk sementara waktu difungsikan sebagai meja video. Namun semua produk mewah itu adalah barang bekas yang telah dibuang oleh pemiliknya, atau diperoleh bapak dari pasar loak. Hampir tak ada harganya. Ditangan bapak benda-benda termajinalkan itu kembali menjadi kristal yang berkilauan. Diperbaikinya dengan santai. Bila harus membeli barang baru, Ia sebenarnya senang kalau anak-anaknya merusakannya, walau dimarahi dulu sebelumnya. "Proses pembelajaran," katanya. Tak heran bila bangkai bangkai peralatan elektronik membutuhkan ruangan khusus untuk menyimpannya. Bapak punya prinsip, segala sesuatu pasti ada manfaatnya. Ia hanya menunggu momentum yang tepat untuk berguna.
Tak hanya perkakas elektronik, kendaraan bermotorpun ada dirumah itu. Tak tanggung tanggung, Marcedez bens tahun 70'an yang mewah dizamanya itu berada dipekarangan rumah bapak. Sudah tak berfungsi. Karatnya sudah tak bisa diatasi lagi. Bahkan keempat rodanya sudah setengah tertanam tanah. Dibelakang rumah bapak ada juga mobil perang Rusia. Bapak bilang mobil ini bernama Gees, keluaran Rusia era 40an. Sangat klasik. Aku mengaguminya. Aku seperti melihat otot otot Rusia bersanding dengan bunga-bunga dan tanaman cabe, jeruk, tomat yang merupakan hobi yang dikerjakan istri bapak.
Mayat-mayat mobil itu memang hanya berfungsi sebagai ruang khayal anak-anak bapak. Itu kata bapak yang menurutku mencoba ingin merendah. Karena tak jarang aku melihat putra putri bapak yang diajak berkeliling mengunakan mobil-mobil mewah. Tentu mobil mewah milik pelanggan bapak. Bahkan mobil polisi dan ambulan pun pernah ditaklukan anak anak bapak. "Salah satu keberuntungan menjadi montir," katanya suatu saat, "yaitu berkesempatan berperan menjadi orang kaya dalam sandiwara hidup ini."
Istri sang bapak juga beruntung. Karena bisa mengomel seenak hati. Mengomel karena keramahan bapak kepada pelanggan yang membuatnya dibayar tak layak. Beruntung karena tak mungkin bapak balas mengomel. Memang terkadang aku juga menganggap bapak keterlaluan dalam keramahan. Omelan sang istri selalu tak dihiraukannya ketika tengah berduaan dengan mesin. Walaupun begitu sengit omelan sang istri, istri tak pernah lupa menyiapkan kopi pada jam bapak harus minum kopi. Aku sampai mengacak-ngacak rambutku melihat tingkah polah sepasang suami istri ini. "omelan itu adalah tanda cintanya yang masih bersemi buat Bapak. Kopi yang diracik dengan omelan selalu yang terbaik. Justru bila ia tak mengomel, Bapak jadi ndak tenang." Dan kamipun tertawa bersama setelah bapak mengucapkan itu.
Tak mengerti apa yang menggerakkan aku selalu nyaman duduk di bengkel itu. Seumpama biksu yang menemukan kuil untuk berkhalwat. Suara radio timbul tenggelam bersama suara motor yang biasanya memekakkan telinga seumpama kidung-kidung cinta yang dilafalkan para darwis dalam lingkaran sebuah tarekat. Tak ada kata yang bisa melukiskan ketenangan jiwa bila berada di bengkel itu.
Bapak montir ini memang jarang bicara. Namun Ketika berbicara lancar mengalir. Jarang terjadi yang seperti ini. Misalnya ketika ia menjelaskan fungsi piston kendaraan yang mirip dengan katup pada jantung manusia. Segala jenis kendaraan bermotor tak akan bisa hidup tanpa alat ini. Begitu juga tak mungkin hidup seorang manusia tanpa jantung. Walau begitu bapak menegaskan bahwa ia tak ingin menganggap bahwa manusia adalah jasad yang menjebak mesin-mesin dengan makromolekul yang bersaing untuk berkembang. Tak hanya sekedar itu. Bapak melanjutkan, "Betapa sering dan pedulinya kita dalam merawat mesin-mesin buatan manusia ini. Dan alangkah sering lalainya kita merawat makhluk ciptaan Tuhan walau begitu seringnya kita menungganginya."
"Kau tahu, baru saja penyiar ini mengabarkan bahwa 17 imigran Irak yang sempat bersembunyi di kampung kita ini telah mati di tengah perairan Australia. Tenggelam disantap hiu yang memang saatnya bermigrasi ke daerah sana." ujar Bapak tiba-tiba sambil mengatur gelombang radio tuanya agar bersih terdengar pada suatu hari yang mendung. Saat itu Bapak lagi konsentrasi penuh mendengar siaran berita yang mengudara dari Holland, Belanda. Aku tersentak. Bagaimana tidak kaget, baru saja aku membaca surat kabar yang menyatakan hanya empat imigran yang tewas.
Tentu, Bapak lebih percaya dengan berita dari media luar. Lebih berani. Maka, tak pernah kulihat ada koran di bengkel itu. Tapi yang banyak gelombang-gelombang radio favorit bapak yang ditulis seadanya di tembok bengkel yang sudah mulai menghitam. Seperti misalnya yang masih kuingat samar tertulis ditembok: Nuim K SW 9.875 kHz (31m) dan 11.745 kHz (25m). Nuim Khaiyath, penyiar senior yang Bapak idolakan, mengudara dari langit Melbourne Australia.