“Iya, silakan masuk!”
Terdengar suara berat dari dalam ruangan, setelah tiga kali aku ketuk pintu yang di atasnya bertengger sebuah papan nama bertuliskan “Personalia”. Aku dorong secara perlahan walaupun dengan sedikit ragu-ragu. Tanpa ku perintah, tiba-tiba jantung ku berdegup lebih kencang dari biasanya, tanpa ku sadari sedikit demi sedikit keringat dingin keluar, kaki begitu terasa berat untuk melangkah seperti ada beban berton-ton hinggap dikedua kaki ku. Ah.. ini lah yang mungkin dikatakan gugup stadium akhir, kalau gak kuat bisa-bisa pingsan duluan.
Perlahan aku paksa diri ku untuk masuk ke ruangan, ruangan yang tidak terlalu luas, tapi tertata dengan sangat rapi. Hanya ada satu meja dengan dua kursi yang saling berhadapan. Di belakang meja terdapat rak yang berisi berkas-berkas dengan balutan map besar tersusun rapi berdasarkan warna. Hanya ada satu jendela dengan gorden berwarna abu-abu tertutup rapat menutupi sinar matahari dari luar. Di atas meja tergeletak papan nama dengan penuh wibawa yang bertuliskan “Petra Hasiholan”. Dari namanya, sudah barang tentu bahwa yang duduk di belakang meja ini adalah orang batak, itu sudah cukup ampuh untuk semakin meruntuhkan mental ku, dan orang itu mungkin persis yang sekarang sedang duduk manis sambil membuka beberapa dokumen yang ada di atas meja kerjanya itu.
Kacamata yang berukuran terlalu kecil untuk wajahnya yang terlihat lebar dengan kedua rahang tegas khas orang batak, kemeja putih polos dengan lengan panjang yang terlipat, jam tangan warna silver melingkar di tangan kirinya dengan sepasang cincin batu permata melingkar di jari manis dan jari tengah, terselip pena diantara jemari yang bergerak naik turun mengikuti beberapa tulisan yang tertera di dokumen yang ia pegang, kalau usianya mungkin ada dua kali lipat usia ku.
“Duduk!”. Bunyi perintah itu seketika mengisi ruangan yang awalnya sunyi senyap. Aku pun dengan sedikit tergesa-gesa segera menuju kursi yang sudah menanti untuk berhadapan langsung dengan sang pemilik kekuasaan di ruangan itu.
“Nama kau Ray?” tanyanya dengan aksen Batak yang kental dengan mata yang masih sibuk melihat ke dokumen yang sedari tadi ia pegang, pasti lh itu CV yang sebelumnya telah aku isi bersama dengan surat lamaran kerja disertai foto kopi ijazah dan KTP yang aku jepit pake klip kemudian dibalut dengan map warna biru muda.
“Siap, betul pak” jawab ku pendek. Itu adalah salah satu tips yang aku praktikan, seperti halnya yang sudah dikasih tahu teman ku, sebelum menjawab ke inti jawaban terlebih dahulu katakan “siap”.
“Usia kau 18 tahun?” lanjut dia bertanya sambil menyelidik dibalik kaca matanya ke arah ku.
Aku pun lantas menjawab dengan jawaban yang sama namun dengan nafas sedikit tertahan. Kemudia ia pun melanjutkan perkataannya.
“Saya tidak bisa menerima kau menjadi anggota Satpam, usia kau ini terlalu muda bagi seseorang yang bertanggung jawab terhadap keamanan suatu tempat, jadi mohon maaf kita gak bisa menerima kau untuk kerja”. Pernyataan yang cukup mengagetkan, di luar dugaan aku sebelumnya. Usia, ternyata itu dipermasalahkan. Tapi tentu tak ada salahnya jika membela dulu walaupun nanti pada akhirnya harus ditolak.
“Siap pak, mohon ijin pak, sepengetahuan saya penduduk yang termasuk tenaga kerja itu usianya antara 15-64 tahun, jadi tentu tidak ada masalah jika saya ini berumur 18 tahun” jawab ku dengan suara lebih lantang dan percaya diri.
Kembali dia melihat dokumen yang sedari tadi dipegangnya sambil dia anggukkan kepala beberapa kali. Cukup lama ia berfikir.
“Oke, coba kau gambar dulu kelinci di kertas ini” seraya ia menggeserkan secarik kertas dan pena ke hadapan ku.
“Lah ini buat apa, kok kerja jadi satpam suruh menggambar, memangnya selain menjaga keamanan kita dituntut pintar menggambar”. Pikir ku dalam hati.
Sedikit aku melirik, tanpa aku ungkapkan apa yang aku pikir tersebut, mulai lah ku goreskan pena di secarik kertas tersebut untuk menggambar seekor kelinci. Untungnya aku sedikit pintar untuk menggambar, maklum lah dulu pernah ikut lomba menggambar tingkat kabupaten mewakili sekolah, walaupun pada akhirnya gak menang.
Tak perlu menunggu lama, gambar seekor kelinci sudah terpampang dalam lembaran kertas, cukup mirip walaupun kepalanya agak serupa dengan seekor anjing chihuahua, tapi itu sudah cukup meyakinkan untuk menjadi seekor kelinci.
Lalu kemudian dia mengambil kembali kertas dengan guratan-guratan yang mewakili gamabaran seekor kelinci. Dia lihat dengan teliti gambar tersebut. Kembali dia anggukkan kepala yang bagi ku anggukkan tersebut terlihat sangat berarti dan itu sangat menambah kepercayaan diri.
“Baiklah, besok pagi kita tunggu kembali untuk mengikuti tes selanjutnya” seketika perkataan itu meluncur saja dari bibirnya dan diakhiri dengan sunggingan senyum rasa puas...
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H