Dalam lamunan, sering terbayang bagaimana jerih payah kedua orang tua membesarkan ku hingga dewasa. Honor yang didapat dari mengajar sehari-hari secara logika itu tidak cukup untuk membiayai aku dan adik ku. Terlebih Ibu ku melanjutkan pendidikannya sampai S1. Padahal dulu, aku sering mengeluh tentang bekal uang saku. Aku tidak pernah berpikir, bagaimana susahnya orang tua ku mendapatkan uang tersebut. Mereka rela menanggung malu, minjam sana, minjam sini demi membiayai pendidikan ku sampai lulus.
Waktu kecil aku masih ingat, merengek minta dibelikan mainan, minta dibelikan sepeda, minta dibelikan ini dan itu. Semua mereka sanggupin, walaupun harus ada tangisan dulu. Waktu sekolah dasar, sempat guru ku menyuruh membuat PR mengisi biodata diri, status keluarga termasuk kolom yang harus diisi, ada dua pilihan, miskin atau kaya. Dengan polosnya aku bertanya kepada ayah, kita miskin atau kaya? Beliau dengan bijaksana menjawab, kita ini keluarga sederhana.Tanpa ada perdebatan, aku tulis pilihan sendiri, SEDERHANA.
SEDERHANA, itu memang jawaban yang tepat. Jika dikatakan miskin, kita memang tidak tergolong keluarga miskin karena masih bisa hidup tanpa membebani orang lain yang ternyata masih banyak keluarga lain yang kekurangan dibanding keluarga ku. Jadi memang betul, keluarga ku adalah keluarga sederhana. Sampai saat ini...
Kesederhaan diajarkan oleh ayah ku. Rumah yang saat ini, masih tetap sama dengan yang dulu, berbilik bambu. Padahal keluarga lain sudah pada berganti, rumah bertembok permanen pasir besi. Motor, baru-baru ini ayah ku beli, itu pun setelah beliau mendapatkan gaji sertifikasi. Padahal tetangga dan keluarga lainnya sudah lama memiliki. Jawaban ayah ku enteng, kalau rumah masih bisa digunakan untuk berteduh di waktu panas dan hujan, istirahat di waktu malam, kenapa harus diganti. Selama kita masih bisa menggunakan kaki untuk berjalan, kenapa harus menggunakan mesin. Selama kita nyaman, kenapa harus mencari yang lebih.
Ketika menginjak SMA, bukan tempat kos yang dicari, tapi pondok pesantren yang dipilih. Bukan hanya pertimbangan untuk belajar mengaji, uang bulanannya terhitung lebih ekonomis. Jalan ke sekolah yang berjarak sekitar 1 km, walaupun ada angkutan umum yang memberikan potongan harga 50%, aku tempuh dengan berjalan kaki, awalnya sendiri, tapi kemudian banyak teman-teman ku yang ikut jalan kaki walaupun mereka mampu menggunakan angkutan umum dengan uang saku yang dimiliki. Waktu istirahat di sekolah, aku habiskan dengan aktif di organisasi, sehingga tidak ada kata ke kantin kecuali kalau ada teman yang mau traktir.
Bagi ku, kesederhanaan hidup sudah menjadi jalan hidup keluarga ku, jalan hidup ku...
(rmf*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H