Mohon tunggu...
Akademizi
Akademizi Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Akademizi lahir dari sebuah visi besar yang ingin mendorong kemajuan gerakan filantropi Islam sekaligus mampu menjadi inspirasi bagi gerakan kebajikan dan pemberdayaan umat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tantangan OPZ dalam Menghadapi Kelas Menengah Muslim

14 Desember 2023   08:35 Diperbarui: 14 Desember 2023   08:43 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Associate Expert FOZ)

Kelas menengah Muslim Indonesia memang masih berkategori suka belanja (konsumeris) kendatipun mereka juga menyadari ada hak-hak orang lain yang melekat pada harta mereka. Maka, muncullah fenomena: ketika ber-ZIS pun seumpama belanja, akan memilih-milih mana yang paling rasional, efektif dan efisien serta memiliki kemanfaatan yang panjang serta melibatkan banyak penerima manfaat (mustahik). Inilah tantangan yang harus dipenuhi Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di Indonesia hari ini, yakni harus mampu memenuhi ekspektasi muzaki. Mereka punya uang untuk donasi, namun mereka juga punya keinginan untuk "tahu lebih banyak" dan bertanya lebih banyak untuk memastikan apakah harta yang didonasikan benar-benar programnya berkualitas ataukah tidak.

Kelas menengah Muslim Indonesia juga melek teknologi. Dari hasil survei data digital 2019 oleh Hootsuite dan We Are Social disebutkan bahwa Indonesia memiliki 150 juta pengguna internet (dari jumlah penduduk lebih dari 268 juta jiwa), ternyata terbesarnya adalah mereka yang berkategori kelas menengah Muslim Indonesia. Korelasi hal ini dengan OPZ di Indonesia adalah dalam hal informasi digital.

OPZ sudah seharusnya meningkatkan kemampuan teknologi digital agar semakin mudah bersosialisasi dan berkampanye. Ya, supaya apa yang mereka lakukan bisa dengan mudah diketahui dan diikuti perkembangannya oleh publik, termasuk oleh para donatur atau muzaki OPZ.

Salah satu model program pemberdayaan, misalnya, kini juga dituntut semakin transparan dan up to date. Banyak kelas menengah Muslim Indonesia berharap program-program yang ditujukan pada kalangan kurang mampu ini bisa bersinergi dengan teknologi digital. Mereka membayangkan bila program pemberdayaan ini bisa seperti layanan ojek daring.

Riset terkait segmen muzaki, strategi marketing serta efektivitas layanan pelanggan untuk muzaki juga penting. Namun, jangan lupa, membuat peta dan sebaran mustahik serta potensi pengembangan juga amat penting. OPZ hadir bukan untuk jadi sinterklas yang akan terus-menerus membagi-bagikan uang dan sesuatu untuk mustahik.

OPZ lahir untuk mengakselerasi mustahik sehingga mereka bisa menggali dan menemukan bakat dan kemampuannya untuk bisa mengubah nasibnya dan juga keluarganya. Melakukan penyadaran ini jauh lebih strategis daripada sekadar menyantuni mereka setiap saat tanpa ada solusi nyata akan kesulitan dan masalah ekonomi mereka. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun