Beberapa minggu terakhir, salah satu topik di bidang ekonomi yang sedang menghangat adalah mengenai nilai tukar rupiah terhadap mata asing. Negara-negara berkembang seperti Indonesia terkena dampak dari strategi ekonomi terbaru Amerika Serikat. Salah satu kebijakan Amerika Serikat untuk menstimulasi ekonomi mereka adalah mengalirkan dana yang lumayan besar . Imbas positifnya adalah sebagian dana mengalir dan memacu investasi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sayangnya, begitu ada kebijakan bahwa dana yang akan disalurkan dari Amerika Serikat akan dikurangi, banyak investor yang kemudian menahan aliran dana mereka ke negara-negara berkembang. Maka, terjadilah gonjang-ganjing di perekonomian Indonesia.
Ironisnya, komentar-komentar yang saya lihat saat membaca berita tentang menurunnya nilai tukar rupiah ada yang seperti saya sebutkan di bawah ini:
1.“Hore! Nilai tukar dollar naik. Semoga Indonesia akan mengalami krisis ekonomi lagi dan saya dapat uang banyak untuk simpanan dollar saya”. Saya benar-benar tidak paham dengan pemikiran dari orang-orang yang berkomentar seperti ini. Hanya orang picik, oportunis dan egois-lah yang mampu memiliki pemikiran dan harapan seperti di atas. Yang hanya mampu memikirkan kepentingan dan kebahagian mereka sendiri. Dalam pandangan saya, mereka tidak jauh berbeda dari penimbun BBM illegal yang berniat memainkan harga BBM karena kelangkaan BBM, atau pembuat krupuk kulit yang berasal dari bahan limbah tas kulit, dan sejenisnya.
2.“Ini semua gara-gara Amerika Serikat! Ini semua salah Amerika Serikat!”. Jenis komentar yang kedua ini adalah cermin dari ketidakmauan untuk mengakui bahwa, terkadang, apa yang terjadi terhadap kita berasal dari kesalahan kita. Sebenarnya, penurunan nilai tukar rupiah adalah kesempatan emas bagi negara Indonesia untuk meningkatkan ekspor mereka. Dengan nilai tukar rupiah yang rendah, dan perekonomian negara-negara barat semakin membaik setelah mengalami krisis ekonomi berkepanjangan, barang-barang produksi Indonesia akan mampu bersaing karena harga yang lebih kompetitif. Namun nyatanya, justru impor di Indonesia-lah yang lebih besar dari ekspor. Gengsi memiliki dan memakai barang-barang branded dari luar negeri menjadikan negara Indonesia tidak lebih sebagai pasar bagi negara-negara lain. Ah, tapi tentu saja itu tetap salah Amerika. Merekalah yang telah mencuci otak kita.... Ah, impor yang lebih besar dari ekspor itu salah pejabat-pejabat pemerintahan di Indonesia! Cuma merekalah yang mampu memiliki barang-barang branded luar negeri. Saya cuma punya iPhone, Blackberry, memakai sepatu Nike, memakai jaket SuperDry Japan....
Truth hurts? Memang!
Banyak yang berfikir bahwa tidak ada yang kita bisa lakukan untuk mengubah sesuatu karena kita hanya orang biasa. Kita mungkin tidak punya kekuasan untuk ikut mengeluarkan atau memutuskan kebijakan-kebijakan kenegaraan. Tapi kita adalah bagian dari ratusan juta rakyat Indonesia. Dan saat mayoritas rakyat Indonesia mampu untuk mengambil sikap yang benar, saya yakin tidak ada hal yang tidak mampu kita lakukan. “Change starts within your self”. Jadi, apa lagi yang kita tunggu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H