Mohon tunggu...
S Hermawati
S Hermawati Mohon Tunggu... profesional -

Akademisi di Inggris dan (mantan) akademisi di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Duh, Malasnya "Orang Indonesia"...

4 Mei 2014   06:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:53 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum saya memulai tulisan ini, harus saya akui bahwa judul yang saya pilih terlalu bombastis, headline grabbing yang sangat tidak akurat karena terlalu men-generalisasi dan cenderung stereotyping.  Untuk itu, saya meminta maaf yang sedalam-dalamnya.

Ide untuk menulis artikel ini berdasarkan pengamatan saya dari ber-interaksi dengan orang-orang Indonesia yang tinggal di sini (baik secara langsung maupun virtual) yang kadang-kadang kurang mengetahu hal-hal krusial mengenai kehidupan di sini karena terlalu malas mencari informasi dengan melakukan sedikit riset melalui internet.  Bahkan, kecenderungannya adalah cukup menanyakan dari sesama orang Indonesia dan selanjutanya 100% percaya dengan apa yang didengar.  Saya paham seandainya beliau-beliau ini kesulitan mendapatkan informasi karena berusia lanjut dan kurang gagap dengan teknologi internet.  Yang membuat saya gemas, beliau-beliau ini sebenarnya juga lumayan muda dan terkadang melihat dari profil mereka juga berpendidikan cukup tinggi atau layak.

Kebetulan saya bergabung dengan sebuah grup yang dibuat khusus untuk pasangan-pasangan pernikahan campuran antara orang Indonesia dan British.  Tidak jarang saya melihat fenomena dimana wanita-wanita Indonesia yang akan atau telah bersuamikan orang Bristih bertanya hal-hal tentang visa yang sebenarnya gampang dicari informasinya lewat internet.Pernikahan antar beda kewarganegaraan sangat rumit karena berkaitan dengan urusan legalitas dua negara; dan sangatlah penting untuk mempelajari, mengetahui dan mengikuti prosesnya secara benar.  Jikalau tidak, bisa-bisa suami, istri dan anak harus terpaksa hidup terpisah karena masalah visa.  Salah satu kasus yang saya tahu adalah seorang wanita Indonesia yang telah menikah hampir lebih dari dua atau tiga tahun dengan seorang warga negara Inggris.  Kebetulanbeliau ini masih belum mantap untuk "jebol desa" ke Inggris dan memutuskan untuk sementara tinggal di Indonesia meskipun mereka sudah menikah.  Akhirnya, tibalah saat beliau  ini mantap untuk meninggalkan Indonesia dan mulailah permohonan visa diajukan.  Beberapa waktu yang lalu, beliau mengabarkan bahwa visanya ditolak, padahal beliau sudah dalam kondisi hamil.  Alasan utama penolakan sepertinya karena keimigrasi-an British menyangsikan keinginan beliau untuk hidup dan menetap di Inggris, setelah sekian lama menjalani pernikahan jarak jauh.  Lho, kok bisa begitu?

Untuk ukuran Indonesia, bukanlah hal yang aneh jika kita melihat sebuah keluarga hidup terpisah.  Misalnya,  seorang ibu dan anak-anaknya hidup dan tinggal di Indonesia, sementara si ayah bekerja di luar negeri dan cuma pulang satu atau dua kali setahun.  Dalam ukuran budaya Indonesia, hal ini cukup lumrah.  Sebaliknya, di Inggris, umumnya keluarga tidak hidup terpisah.  Kalaupun mereka hidup terpisah, mungkin hanya beda kota dan berkumpul kembali setiap akhir pekan.  Jadi, bukan hal yang aneh kalau pihak ke-imigrasi-an British menolak visa wanita Indonesia yang saya contohkan di atas.  Dalam pandangan dan rasional budaya Inggris, keseriusan dalam berkeluarga harus ditunjukkan dengan "co-location" dari anggota keluarga tersebut.  Hal lain yang juga pernah saya alami adalah ketidaktahuan orang-orang Indonesia mengenai sistem pelayanan kesehatan di sini dan berakibat yang bersangkutan harus mengeluarkan biaya-biaya yang sebenarnya tak perlu.

Dari pengalaman saya, mayoritas orang Indonesia terlalu berpegang pada budaya "katanya" dan "si anu bilang", dll.  Bagi yang pernah kuliah S1, pastilah perlu menulis skripsi; dimana sebagian dari skripsi tersebut diwajibkan untuk mengacu pada referensi-referensi ilimiah. Hal ini sebenarnya bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk pintar-pintar memilah informasi , cek dan ricek informasi, serta berfikir kritis dan mandiri.  Tapi mungkin, karena sistem pendidikan Indonesia terlanjur membiasakan siswa hanya untuk passive menerima informasi, latihan berfikir kritis di jenjang S1 inipun kurang bermanfaat.  Maka, tak heran kalau banyak orang Indonesia yang gampang termakan isu-isu tak jelas ataupun percaya dengan analisa-analisa yang mengada-ada.  Apalagi menjelang dan selama masa pemilihan umum.  Tak jarang saya menemui status-status lewat media sosial yang "asal".  Yang lebih parah lagi, beberapa kali saya menemukan share status yang terkait dengan masalah kesehatan yang benar-benar ngawur serta tidak akurat tetapi sudah di-share entah oleh berapa ribu orang.  Sangat memprihatinkan sekali.

Jadi, lain kali, jika ada sesuatu yang tidak anda mengerti, janganlah malas membaca dan pintarlah memilah-milah sumber informasi dna membandingkannya.  Jangan terlalu bergantung pada informasi yang diberikan orang lain yang hanya bersdasarkan katanya.  Dan jika anda baca dan dengar sesuatu, janganlah langsung dipercaya mentah-mentah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun