Mohon tunggu...
Henny Luan
Henny Luan Mohon Tunggu... -

Perawat dan Pemerhati Sosial.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Keperawatan Tidak Identik dengan Rumah Sakit

20 Oktober 2014   09:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:25 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Judul asli "Keperawatan Tidak Identik dengan RS".
Tulisan ini dimuat di Harian Kompas pada tanggal 13/05/2008,
Sehari setelah perawat Indonesia turun ke jalan, melakukan
demonstrasi, menuntut DPR-RI untuk segera mensahkan UU Keperawatan) 


-------

Sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa perawat sebagai
asisten dokter dan identik dengan pelayanan kuratif di rumah sakit.

Hari Perawat Sedunia yang jatuh pada tanggal 12 Mei tahun ini
menggarisbawahi peran holistik keperawatan dalam menyehatkan
masyarakat melalui pendekatan Pelayanan Kesehatan Primer/Primary
Health Care (PHC). Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan untuk
perlindungan bagi perawat dan masyarakat.

Sama halnya di mancanegara, pendidikan keperawatan di Indonesia
berawal dari rumah sakit dalam bingkai pelayanan kuratif. Menilik itu,
tidaklah aneh apabila masyarakat masih memandang perawat sebagai
asisten dokter. Pandangan masyarakat ini semakin kuat manakala perawat
sendiri tidak mampu menampilkan kinerja profesionalnya. Lebih-lebih,
banyak perawat di daerah, yang karena diimpit oleh keterbatasan sumber
daya kesehatan dan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan akses
pelayanan, ambil risiko berfungsi di luar domain keperawatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Depkes dan Universitas Indonesia pada
tahun 2005 mendapatkan sekitar 90 perawat di puskesmas daerah
terpencil bekerja dalam domain kuratif (cure), melakukan tindakan
medis, menetapkan diagnosis penyakit, dan menulis resep. Sebagai
gantinya, harga mahal yang ditanggung adalah pengabaian domain
keperawatan (care). Hal ini terbukti dengan hanya 55 persen yang
melakukan asuhan keperawatan. Situasi ini semakin menyuburkan
kerancuan di masyarakat akan peran dan fungsi perawat yang sesungguhnya.

Vokasi versus profesi

Menggeser keperawatan dari level vokasi menjadi profesi tampaknya
tidaklah mudah. Perjalanan panjangnya untuk mendapatkan pengakuan
sebagai profesi masih terseok-seok. Sejak dimulai pendidikan tingkat
diploma pada tahun 1962 barulah dua dekade kemudian lahir pendidikan
keperawatan berstrata satu (S-1). Pendidikan S-1 memungkinkan bagi
perawat untuk memperkuat landasan teoretis keperawatan sehingga
dianggap sebagai momentum peralihan dari vokasi menjadi profesi.

Sosiolog Pavalko dalam Continuum Model of Professionalization
menandaskan ini bahwa jenis dan lamanya pendidikan merupakan salah
satu kriteria untuk mengukur posisi keprofesionalan pada rentang
vokasi dan profesi. Sekalipun akselerasi ke arah keprofesionalan
dipercepat, ironisnya de facto ketimpangan justru dipicu oleh
heterogenitas pendidikan dan kompetensi lulusan. Rasio perawat dengan
latar belakang minimal S-1 mepet pada marjin 3 persen, sedangkan
mayoritas (66 persen) masih dengan pendidikan SPK, selebihnya diploma
III. Ini menyisakan pekerjaan rumah yang berat bagi keperawatan
mengejar ketertinggalannya dari sejawatnya di mancanegara.

Ketika negara-negara seperti Thailand, Taiwan, Filipina, dan Jepang
sejak tahun 1980-an sudah mengibarkan S-1 sebagai basis pendidikan
keperawatan, Indonesia baru pada tahun 2015 mayoritasnya berlatar
belakang pendidikan diploma. Besarnya proporsi vokasional menempatkan
keperawatan dalam dominasi kontrol dari luar dan digolongkan dalam
kelompok pekerja kelas bawah dengan segala konsekuensinya, termasuk
kecenderungan memperoleh imbalan rendah.

Kemandirian

Meminjam sosiolog Caplon, dalam bukunya berjudul The Sociology of
Work, langkah-langkah yang telah ditempuh oleh keperawatan Indonesia
merupakan sekuens profesionalisasi. Upaya-upaya itu, dalam koridor
Caplon antara lain, pembentukan asosiasi perawat nasional, pemberian
nama baru ners untuk perawat profesional sebagai monopoli kelompok
menggantikan kata perawat atau suster, pemberlakuan kode etik
keperawatan, dan pengupayaan aspek legal untuk lisensi dan praktik
keperawatan. Sejalan dengan proses mengupayakan aspek legal ini adalah
pendidikan dan fasilitas pendidikan dibangun di bawah kontrol profesi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun