Aku bertanya pada Hujan, “Apakah kau tercium bara api liukan Pangeran Semesta?”
Hujan menjawab,”Tak perlu angin sebagai petunjuk liukan apinya. Karena Pangeran tidak sunyi memainkan apinya. Dia amat bergelora meloncat-loncat girang-memercik tuk menghampirimu. Geliat tubuhnya sangat ramai mengunjungi ruangmu. Tidakkah kau dengar sorakkannya memanggilmu, cinta?”
Aku terdiam. Mencari bentuk ‘Sederhana’. Bagiku cinta Sang Pangeran Semesta, tidak sederhana, melainkan ‘Luar Biasa’. Dan aku tak boleh menjadi kayu, tapi jika aku kayu dan beubah menjadi abu, aku ingin menjadi abu yang selalu digenggamnya. Tetapi aku tak mau redup, apalagi mati.
Wahai, Pangeran Semesta, Bolehkah aku menjadi begini saja? Begini yang selalu kau genggam erat dan tak ingin kau coret dari sejarah.
Apakah permintaan aku ini rumit? Tidak sederhanakah? Ah, aku tak tahu. Yang aku tahu, aku mencintaimu. Titik! Aku, perempuan, tak lagi kesepian setelah menemukanmu.