Miris, sebuah kata yang tepat menggambarkan kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto yang terletak di Kalimantan Timur. Tidak terlihat itikad pemerintah pusat dan daerah untuk menjaga kawasan ini sebagai kawasan konservasi.
WAKTU menunjukkan pukul 11.00 Wita saya memasuki kawasan konservasi Tahura Bukit Soeharto melalui pemukiman penduduk eks HPH (Hak Pengusahaan Hutan) milik PT Rimba Djaya Raya (RDR), Desa Batuah, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar).
Kawasan ini menjadi kampung ketika perusahaan masuk ke kawasan Tahura sebelum dijadikan areal konservasi. Ratusan rumah dengan mudah terlihat di antara patok-patok kawasan Tahura. Tidak ada ketakutan warga jika suatu saat ditertibkan pemerintah.
Kawasan Tahura Bukit Soeharto memiliki luas 67.766 hektar sesuai surat keputusan Menteri Kehutanan No:SK.577/Menhut-II/2009. SK yang ditandatangani seseorang sekelas menteri itu kenyataannya tidak menyurutkan nyali warga untuk berhenti mengolah lahan konservasi. Tak hanya rumah, bermodalkan kelompok tani, kini lahan seluas 2.000-an hektar telah disulap menjadi perkebunan sawit yang berjejer rapi.
Lebih masuk ke dalam areal konservasi, sekitar 5 km dari jalur poros Samarinda-Balikpapan, pemandangan mulai menunjukkan perubahan. Bukan semakin hijau, justru semakin memprihatinkan. Pertempuran kini beralih dari masyarakat ke pengusaha pertambangan batu bara.
Surat keputusan Menhut itulah awal terbukanya akses kawasan konservasi menjadi areal pertambangan. Perusahaan tambang dengan gagah berani dan melenggang kangkung mengeksploitasi lahan konservasi. Telisik mendalam, dalam SK Menhut itu ada sebuah klausul yang menyebutkan bahwa jika ada izin yang telah diterbitkan pemerintah pusat atau daerah yang sah dan masuk dalam areal Tahura, maka izin itu tetap berlaku sampai izin berakhir.
Kini kondisi Tahura Bukit Soeharto semakin miris. Sebagian kawasan telah diobrak-abrik alat berat untuk diambil emas hitamnya. Puluhan kawah dan danau kini menghiasi sepertiga kawasan bagian timur Tahura. Ditambah bonus debu yang membubung tinggi di sepanjang jalan yang dilalui. Jalan yang disebut pemerintah sebagai jalan kolaborasi.
Ironis memang, jalan kolaborasi itu dibangun pemerintah pusat untuk penguatan pengawasan maupun perlindungan terhadap lahan konservasi Tahura Bukit Soeharto. Kenyataannya, malah digunakan sebagai jalan hauling batu bara. Sementara reboisasi berupa penanaman pohon yang dilakukan pemerintah, tak lebih dari 25 hektar saja.
Derita Bukit Soeharto tak berhenti sampai disitu. Ibarat wanita cantik, wilayah ini kembali diperkosa deru mesin chainsaw. Wilayah ini sepi, maka suara mesin itu terdengar jelas meraung-raung dari tengah Tahura Bukit Soeharto. Suara yang langsung berhenti ketika mengetahui kedatangan kami.
Sangat ironis memang, nyali pemerintah menegakkan aturan yang mereka buat ternyata masih setengah hati untuk dijalankan. Dampaknya, kini lahan yang jelas-jelas masuk dalam wilayah Tahura Bukit Soeharto, dengan seenak perutnya diberi patok. Tak kurang 2 hektare lahan dikaveling warga yang mengaku memiliki surat dari kecamatan bahkan sudah ada yang berbentuk sertifikat.
Konflik di Tahura Bukit Soeharto semakin kompleks, ditambah usulan pembangunan jalan free way (jalan bebas hambatan) yang menjadi mega proyek Pemprov Kaltim yang akan melalui sisi timur Tahura. Belum lagi pedagang yang tak jelas asal usulnya tiba-tiba main bangun warung di sepanjang jalur utama Samarinda-Balikpapan yang masuk dalam areal konservasi ini. (ak_cipta@yahoo.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H