Mohon tunggu...
A Karma Sentika
A Karma Sentika Mohon Tunggu... -

Lahir di Surabaya, dan sekarang tinggal di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Madzhab Tsa’labah

6 Februari 2011   02:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:52 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Assalamu’alaikum pak …” sapa Bahrul kepada Cahyo. “Wa’alaikum salam pak, gimana? apa khabar? apa sehat wal afiat?” jawab Cahyo sambil merangkul Bahrul. Pertemuan ini, adalah pertemuan yang biasa saja terjadi setelah selesai Sholat Dluhur di Masjid Al Ikhsan, suatu masjid di salah satu kantor pemerintahan. Sambil berjalan menuju warung dekat kantornya untuk makan siang, perbincangan Bahrul dan Cahyo berlanjut semakin akrab. “Oh yaa, kemana teman kita pak Achmad? kok saya tadi tidak melihat berjamaah?” tanya Cahyo, “Saya melihatnya di kantor tadi, mungkin sedang rapat, karena jam sepuluhan tadi dia dipanggil Kepala Biro” jawab Bahrul yang memang satu kantor. Mereka bertiga Achmad, Bahrul dan Cahyo memang berteman akrab, mereka bertiga seringkali berjumpa ketika berjamaan sholat Dluhur dan Ashar di kantor serta makan siang bersama. Mereka baru bekerja sekitar 5 tahunan dan dikenal sebagai karyawan yang rajin dan disiplin dalam bekerja, serta bersikap ramah terhadap sesama karyawan. Sebulan yang lalu Achmad sesuai dengan kemampuan dan performansi kerjanya yang baik di promosikan menjadi Kepala Urusan Logistik, suatu jabatan yang membutuhkan suatu kejujuran dan loyalitas yang tinggi. Achmad sangat sesuai dengan amanah yang dipegangnya tersebut, selain memang dia rajin dan disiplin, dia juga dapat dikatagorikan sebagai orang jujur dan alim karena minimal 10 menit sebelum adzan berkumandang , dia sudah di masjid. Didirikannya sholat Tahyatul Masjid, dan kalau masih ada waktu dibacanya Al Qur’an atau berdzikir hingga masuk waktu adzan. “Ayam bakar mang, nasinya separo aja yah…” kata Cahyo, sambil mencari tempat duduk yang kosong setibanya diwarung “Sabar Menanti” “Saya pesan ikan pepes mang..” kata Bahrul. ”Kalau Pak Haji pesan apa?” ujar Mang Kumis si penjual kepada Pak Deden yang hampir bersamaan datangnya dengan Bahrul dan Cahyo. “Saya pesan ayam bakar juga mang” jawab Pak Deden. “Boleh saya duduk bergabung disini?” sapa Kang Deden kepada Bahrul dan Cahyo. “Kalau duduk barengan pak Ustadz senang sekali …..” ujar Cahyo kepada Pak Deden yang biasa di panggil pak ustadz oleh sesama teman-temannya. “Tadi membicarakan apa, kok kelihatannya serius sekali…” “Kami membicarakan kebahagiaan kami, karena sahabat kami yaitu pak Achmad baru di promosikan” ujar Bahrul menjelaskan tentang sahabatnya Achmad dan apa yang diperbincangkan berdua tadi. “Alhamdulillah, semoga Pak Achmad dapat memegang amanah ini dengan baik.” ujar Pak Deden, “Banyak orang pada dewasa ini, ketika masih menjadi staf, rajin berdo’a, memohon agar karirnya cepat menanjak, namun begitu cita-citanya tercapai dia lupa kepada Allah.” “Kadangkala orang berdo’a bagaikan pengamén saja, begitu pengamén dikasih uang dia menghentikan nyanyiannya, sebelum do’anya di ‘ijabah oleh Allah, tak henti-hentinya dia berdo’a bahkan sambil berlinang air mata. Namun begitu permintaannya dikabulkan, lantunan do’anya mulai surut. Padahal Allah swt sangat senang mendengarkan rintihan do’a makhlukNya, apalagi lantunan do’a tersebut menyenangkanNya, Allah swt bahkan memerintahkan Jibril agar menunda pengabulannya, karena Allah swt senang mendengarkan alunan do’a hambaNya.” “Seharusnya kita harus berdo’a dengan khusu’ setiap hari, minimal selepas sholat fardlu, karena bagi Allah adalah termasuk orang yang sombong bagi hambaNya yang tidak mau ber do’a” “Ini dèn pesanannya”, “terima kasih mang” “kita lanjutkan nanti kalau ada waktu yahh..., sekarang kita santap dulu hidangan yang tersedia ini” -----------------

12969554881103936062
12969554881103936062
“Pernah dengar kisah Tsa’labah ?” ujar Pak Deden kepada Bahrul dan Cahyo selepas Sholat Dluhur di hari kamis. Mereka semua sedang menjalankan puasa sunnah sehingga untuk waktu istirahat di gunakan untuk berbincang-bincang tentang keagamaan. Biasanya di hari Senin dan Kamis sehabis Dluhur ada Tausyiah hingga jam masuk kantor, tetapi mungkin hari kamis ini lagi kosong atau penceramahnya lagi halangan dan tidak ada penceramah pengganti. “Assalamu’alaikum warahmatullohi wabarokatuh” Achmad memberi salam “Walaikumsalam warahmatullohi wabarokatuh “ jawab mereka bertiga hampir bersamaan. “Maaf yah… saya mau sholat dulu… nanti aku bergabung kok….” ujar Achmad terburu-buru. Pak Deden melanjutkan pembicaraannya: “Saya rasa kalian sudah pernah mendengar kisa Tsa’labah ini, namun akan saya ceritakan kembali untuk mengingatkan…” “Di zaman Nabi Muhammad saw, hiduplah seorang yang amat miskin yang bernama Tsa’labah. Begitu miskinnya, sampai-sampai kain yang digunakan menutup aurat untuk sholat harus bergantian dengan istrinya. Sehingga begitu selesai sholat berjama’ah di masjid bersama Nabi Muhyammad saw, Tsa’labah terburu-buru pulang, kain yang di pakainya akan digunakan istrinya untuk sholat.” “Suatu saat, Tsa’labah datang menghadap Nabi sambil mengadukan tekanan ekonomi yang dialaminya. Tsa'labah memohon kepada Nabi untuk berdo'a supaya Allah memberikan rezeki yang banyak kepadanya.” “Semula Nabi menolak permintaan tersebut sambil menasehati Tsa'labah agar meniru kehidupan Nabi saja, bersifatlah qonaah yaitu menerima dengan ikhlas rezeki yang telah Allah limpahkan kepada kita. Namun Tsa'labah terus mendesak. Kali ini dia mengemukakan argumen yang sampai kini masih sering kita dengar, "Ya Rasul, bukankah kalau Allah memberikan kekayaan kepadaku, maka aku dapat membantu orang lain?" . Nabi kemudian mendo'akan Tsa'labah. “Assalamu’alaikum warahmatullohi wabarokatuh” Achmad memberi salam setelah sholat Dluhur. “Walaikumsalam warahmatullohi wabarokatuh “ mereka bertiga menjawab salam. “Mari pak Achmad bergabung, kami sedang menceritakan kisah Tsa’labah” ujar pak Deden. “Saya teruskan kisah Tsa’labah ini” “Berkat do’a Nabi Muhammad saw, Tsa'labah yang diawalnya memiliki seekor domba, dalam tempo yang relatif singkat dombanya berkembang biak dengan pesat sehingga ia harus membangun petenakakan agak jauh dari Madinah. Seperti bisa diduga, setiap hari ia sibuk mengurus dombanya. Ia tidak dapat lagi menghadiri shalat jama'ah bersama Rasul di siang hari. Hari-hari selanjutnya, dombanya semakin banyak; sehingga semakin sibuk pula Tsa'labah mengurusnya. Kini, ia tidak dapat lagi berjama'ah bersama Rasul. Bahkan menghadiri shalat jum'at pun tak bisa dilakukan lagi. Ketika turun perintah zakat, QS 09 : At Taubah 103: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Berkaitan dengan turunnya ayat tersebut, Nabi Muhammad saw menugaskan sahabatnya untuk menarik zakat dari Tsa'labah. Sayang, Tsa'labah menolak mentah-mentah utusan Nabi itu. Ketika utusan Nabi datang hendak melaporkan kasus Tsa'labah ini, Nabi menyambut utusan itu dengan ucapan beliau, "Celakalah Tsa'labah!" Nabi Muhammad saw murka, dan Allah pun murka! Saat itu turunlah Qs at-Taubah: 75-78 :
  • Dan diantara mereka ada orang yang Telah berikrar kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, Pastilah kami akan bersedekah dan Pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.
  • Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran)
  • Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, Karena mereka Telah memungkiri terhadap Allah apa yang Telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga Karena mereka selalu berdusta.
  • Tidaklah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib.

Tsa'labah mendengar ada ayat turun mengecam dirinya, ia mulai ketakutan. Segera ia temui Nabi sambil menyerahkan zakatnya. Akan tetapi Nabi menolaknya, "Allah melarang aku menerimanya." Tsa'labah menangis tersedu-sedu. Setelah Nabi wafat, Tsa'labah menyerahkan zakatnya kepada Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, beliaupun berujar : “Bagaimana aku mau menerima, sedangkan Rasulullah saja menolaknya? Setelah Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq wafat, Tsa’labah menghadap Khalifah Umar bin Khattab, beliaupun menolak menerima zakat Tsa’labah. Akhirnya Tsa'labah meninggal dalam kemunafikan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Itulah kisah Tsa’labah” ujar pak Deden mengakhiri ceritanya. “Saya takut, . . . secara tak sadar bersifat seperti Tsa’labah” rintih Achmad, dan lanjutnya : “Hanya karena ada rapat penting, saya tinggal kan sholat berjamaah. Ketika mendengar adzan di kumandangkan, pimpinan rapat hanya menghentikan rapat sebentar untuk mendengarkan adzan, setelah itu rapat di lanjutkan kembali. Saya sering pulang rada malam, yang berarti saya telah meninggalkan shalat jamaah di Masjid Al Hikmah, masjid di kompleks perumahan dimana saya tinggal. Pendapatanku perbulan sudah naik, tetapi shodaqoh dan infaq yang saya serahkan tidak berubah dari dulu” “Beristigfarlah pak Achmad” ujar Kang Deden, “Insya Allah pak Achmad bukan sebagai pengikut madzab Tsa’labah.” “Pak Achmad harus mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan, rubahlah sedikit-sedikit keadaan tersebut, sehingga pak Achmad dapat shalat berjamaah seperti sebelum-sebelumnya. Janganlah kita merasa bahwa apa yang kita capai sekarang ini semata-mata hasil kerja keras kita yang siang-malam membanting tulang, tetapi itu semua adalah kehendak Allah. swt. Ini semua ujian dari Allah swt, ujian dari Allah swt dapat berupa kemiskinan atau kekayaan. Ketika datang angin yang sangat kencang seekor kera akan memegang erat-erat dahan dimana kera bergayut agar tidak jatuh. Tetapi ketika datang angin sepoi-sepoi., kera tersebut mungkin menikmati semilirnya angin hingga kera tersebut tertidur, dan jatuh. Banyak orang ketika menerima ujian berupa kesederhanaan dia masih mampu, dia merasa dekat dengan Allah, namun begitu menerima ujian berupa kemewahan dia terlena dan jauh dari Allah” nasihat kang Deden yang disampaikannya dengan hati-hati. “Terima kasih kang, do’akan semoga saya mampu menerima semua ujian ini” kata Achmad dengan lirih. “Mari kita kembali ke kantor, waktu istirahat sudah habis” kata Kang Deden mencairkan suasana, dan kamipun bersalam-salaman serta kembali ke kantor masing-masing Bandung,  15 Juni 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun