84 tahun yang lalu, pada hari Minggu, 28 Oktober 1928, sekumpulan pemuda dari berbagai pelosok Indonesia berkumpul di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. Kongres ini merupakan Kongres II yang digagas oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), bertujuan untuk menyatukan organisasi-organisasi kebangsaan yang ada pada masa itu.
Kongres yang diadakan selama dua hari ini menghasilkan keputusan yang menjadi salah satu faktor utama tercapainya proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Seiring perjalanan waktu, hasil kongres pemuda inipun mengalami perubahan, dan perubahan yang paling signifikan adalah penyebutan atau judul isi keputusan dari "Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia" menjadi "Sumpah Pemuda".
Perubahan "judul" ini pertama kali terjadi saat Kongres Bahasa Indonesia Kedua di Medan pada 28 Oktober 1954.
Erond Damanik, peneliti Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan (Unimed) mengatakan bahwa Moehammad Yamin memiliki peran penting dalam pembelokan kata "Poetoesan Congres" menjadi "Sumpah pemuda."
Menurut Erond, Soekarno dan Yamin pada saat itu sedang sibuk membangun sebuah simbol yang menjadi bagian dari susunan idiologi sebuah bangsa dan negara, di tengah-tengah maraknya gerakan separatis yang terjadi pada masa itu.
“Dengan lihai, Yamin membelokkan kata "Poetoesan Congres" menjadi "Sumpah pemuda," sebagai simbol ideologi nasional yang baru, sekaligus sebagai teguran bagi dalang gerakan separatis, yaitu penjimpangan dari sumpah 1928.”
[Erond Damanik]
Semenjak Kongres Bahasa Indonesia itu, penciptaan simbol idiologi nasional yang baru atas peristiwa 28 Oktober 1928, terus diproduksi sebagai Sumpah Pemuda hingga hari ini.
Selanjutnya Erond mengatakan, sangat penting kiranya penjelasan sejarah harus sesuai dengan bukti-bukti kongkritnya yakni dokumen asli sebagai sumber-sumber primer narasi dan penjelasan sejarah.
“Dalam arti, penjelasan sejarah mesti didasarkan kepada bukti autentiknya dan bukan pada rekayasa atas sumber primernya. Tanpa itu, maka yang dilakukan dengan penjelasan sejarah masa kini adalah menciptakan kebohongan kepada generasi penerus bangsa ini.”
[Erond Damanik]
Senada dengan pendapat Erond, JJ. Rizal seorang Sejarawan dari Komunitas Bambu mengatakan bahwa penyimpangan ini merupakan korupsi terhadap teks sejarah, pada Diskusi Publik “Sumpah Pemuda Anti Korupsi: Yang Muda Yang Enggak Korupsi” yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) di Aula Juwono Sudarsono, UI Depok, pada hari Rabu, 24 Oktober 2012.
Rizal menjelaskan, korupsi teks sejarah ini dilakukan untuk kepentingan ideologis yaitu mengaitkan dengan sebuah peristiwa besar jaman Majapahit yaitu Sumpah Palapa. Maka dibawalah sumpah Patih Gadjah Mada itu ke ranah kepentingan politik kontemporer.
Penyematan kata sumpah sekaligus untuk memberikan nuansa sakral. Karena siapa yang menyalahi sumpah pastilah mendapatkan bala.
“Jadi sekali lagi Sumpah Pemuda menjadi alat untuk menanggapi keadaan maupun tantangan politik kontemporer"
[J.J. Rizal]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil keputusan Kongres Pemuda Kedua itu telah dimanfaatkan dan direkayasa sedemikian rupa untuk kepentingan politik pemerintah berdasarkan kondisi jamannya masing-masing.
Pentingkah menggagas pengubahan frasa Sumpah Pemuda ini? misalnya dikembalikan ke aslinya yaitu Putusan Pemuda, atau mungkin membuat frasa yang lain?
Saya pikir hal ini cukup penting untuk dibahas, sebagai upaya untuk meluruskan sejarah, menghentikan tradisi korupsi sejarah.
Secara tidak langsung kita juga telah memfitnah para peserta kongres Pemuda II itu, dimana mereka tidak pernah menyatakan sumpah untuk hasil keputusan kongres yang mereka lakukan.
Salam Hangat dan Damai Sahabat Kompasianers
[-Rahmad Agus Koto-]
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H