Barusan saya membaca berita mengenai protes sejumlah sekolah di Pakistan terhadap Malala Yousafzai dengan cara membuat acara hari "I am Not Malala" (Yahoo UK).
Kemungkinan besar teman-teman pembaca sudah mengetahui siapa Malala ini bukan?
Yup, sosok muda fenomenal ini adalah penerima Nobel Perdamaian tahun ini, sekaligus penerima Nobel termuda hingga saat ini. Penghargaan ini beliau terima atas perjuangannya dalam menegakkan hak mendapatkan pendidikan bagi semua orang, khususnya bagi para wanita muda di negaranya. Dimana perjuangannya itu menyebabkan ia ditembak di bagian kepala oleh sekelompok ekstrimis tahun 2012 yang lalu.
Mereka memprotes Malala karena menganggap ia telah mendukung Salman Rushdie, sosok kontroversial yang telah menghina Islam melalui bukunya "Satanic Verses" di dalam e-book "I am Malala".
Setelah saya telusuri dan membaca bagian buku terkait hal tersebut, saya menemukan adanya kesalahpahaman.
My father's college held a heated debate in a packed room. Many students argued that the book should be banned and burned and the fatwa upheld.
My father also saw the book as offensive to Islam but believes strongly in freedom of speech.
‘First, let's read the book and then why not respond with our own book,' he suggested.
He ended by asking in a thundering voice my grandfather would have been proud of, ‘Is Islam such a weak religion that it cannot tolerate a book written against it? Not my Islam!'
[-"I am Malala", Hlm. 28-]
Dari paragraf pemicu "kehebohan" itu, jelas sekali bahwa Malala mengutip pendapat ayahnya yang menyepakati bahwa buku Salman itu benar menyerang Agama Islam, namun ayahnya memiliki prinsip kebebasan berpendapat, dan seyogianya ditanggapi juga dengan baik.
Sampai sejauh ini saya tidak ada menemukan dengan jelas apakah memang Malala sependapat atau sepemikiran dengan ayahnya tersebut.