Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Tidak besar memang, melalui niat dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Compulsive Buying Disorder (CBD), Resiko Dibalik Kemudahan Belanja Online

6 Oktober 2012   17:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:10 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13495477092054714249

Kemudahan yang ditawarkan dalam belanja online, membuat sistem perdagangan online (e-commerce) meningkat sangat pesat. Berdasarkan hasil survei belanja online yang dilakukan oleh Master Card pada bulan April 2012, total nilai transaksi perdagangan online di Indonesia pada tahun 2010 sebesar 3,4 Milliar USD, dan akhir tahun 2012 diperkirakan meningkat menjadi 4,2 Milliar USD.

Kemudahan belanja online diantaranya adalah kenyamanan berbelanja, menghemat waktu, bisa dilakukan kapan dan dimana saja, lebih leluasa dalam memilih dan membandingkan barang-barang yang akan dibeli, harga yang relatif lebih murah, dan sebagainya.

Namun berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Robert La Rose, ahli telekomunikasi yang berasal dari Department of Telecommunication Michigan State University, USA, kemudahan-kemudahan itu meningkatkan resiko penggemar belanja online menderita Compulsive Buying Disorder (CBD) dibandingkan dengan penggemar belanja "tradisional" (JCMC).

World Psychiatric Association mendefenisikan CBD sebagai kondisi psikologi kronik, hasrat yang berulang-ulang (kecanduan) untuk membeli barang atau jasa yang umum (apa saja) maupun yang spesifik misalnya perhiasan dan pakaian.

Penderita CBD akan merasa tidak nyaman atau gelisah apabila tidak berbelanja dalam jangka waktu tertentu, timbulnya gangguan emosional, stres hingga depresi. Penggemar belanja online ini mengalaminya secara perlahan dan tanpa disadari, biasanya didahului oleh sifat konsumtif atau boros.

Dalam kondisi yang relatif ekstrim, CBD dapat mengakibatkan permasalahan finansial, terganggunya hubungan sosial dengan keluarga dan kenalan.

Indikator yang mengarah ke CBD diantaranya adalah:

  1. Seringkali membeli sesuatu tanpa ada perencanaan sebelumnya
  2. Menganggap belanja adalah kegiatan yang menyenangkan dan dapat menghilangkan stres.
  3. Suka membayar tagihan minimum untuk tagihan kartu kredit
  4. Kadang-kadang timbul perasaan bersalah setelah membeli sesuatu, karena menyadari bahwa barang yang dibeli tersebut tidak begitu dibutuhkan.
  5. Ada kalanya muncul keinginan yang kuat untuk belanja tanpa memiliki alasan yang jelas.

Kaum urban, pengusaha-pengusaha sukses dan selebritis adalah kalangan masyarakat yang rentan mengalami efek negatif dari belanja online ini.

Solusi untuk penderita CBD adalah terapi konseling atau pengobatan berdasarkan hasil konsultasi dengan psikiater, aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan.

Sedangkan untuk menghindarinya menurut Robert pada intinya adalah pengendalikan diri (self control), atau menguasai mekanisme pengaturan diri (self-regulatory mechanisms) saat belanja online. Kemudian memahami dan menghindari indikator-indikator yang mengarah ke CBD, mengatur keuangan secara rapi, membuat skala prioritas untuk barang-barang yang akan dibeli, belanja online di saat yang senggang, mempelajari dan memahami seluk-beluk serta peraturan perdagangan online.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun