Red Car Theory (RTC) ini memang teori lama, tapi bukan teori usang. Saya sudah membuktikan khasiatnyanya baru-baru ini. Nanti kupaparkan secara gamblang. Tulisan ini agak panjang, bila teman-teman pembaca bersedia membacanya sampai tuntas, saya yakini akan bermanfaat bagi kehidupan teman-teman sekalian.
Gak tau persis siapa yang pertama kali mengungkapkan teori ini. Ada yang bilang ada disebutkan di dalam buku "Sensation and Perception" karya Stanley Coren, 1972. Udah kucek bukunya, tapi belum nemu. Ya, itulah itu.
Teori ini, berakar dari prinsip "Looking Glass Self" yang digagas oleh sosiologis Charles Cooley pada tahun 1902, dimana self-image seseorang sebagian besar diperolehnya melalui bagaimana anggapan orang lain kepadanya. Misalnya sadar gak sadar ada yang menganggap dirinya ganteng, cantik, jelek, kaya, miskin, pintar, bodoh, alim, zalim dst karena ada orang yang mempersepsikan dirinya begitu.
Teori Cooley dikembangkan menjadi Red Car Theory yang menyebutkan bahwa persepsi kita terhadap kenyataan sangat bergantung kepada apa yang kita pilih untuk diperhatikan atau difokuskan. Kemudian teori ini diperkuat dengan konsep psikologis Abraham Maslow. Maslow menyatakan bahwa ketika kita hanya memiliki palu, maka semuanya mulai terlihat menjadi paku.
Coba tanya seseorang yang ada disamping teman-teman secara random. Adakah atau berapa banyak mobil merah yang dilihatnya hari ini. Jawabannya bakal aaa-uuu-aaa-uuu. Dia tidak akan bisa memastikan ada atau tidak ada, apalagi jumlahnya. Kemudian katakan kepadanya bahwa mulai besok pagi, setiap mobil merah yang ditemuinya, dia akan diberi satu juta/mobilnya. Bisa kita pastikan, besok dia akan bangun pagi dengan cepat. Mindsetnya, seluruh inderanya teraktivasi, penuh perhatian, fokus, untuk menemukan setiap mobil merah yang ada di jalanan.
Nah, anggaplah setiap kesempatan baik sebagai mobil merah dengan reward di belakangnya. Apapun bentuk kesempatan baik itu, apakah di ranah bisnis, politik, hubungan keluarga-sosial, mencari pekerjaan, jodoh dan sebagainya.
Oke, cukup sampai disini teorinya. Terkait hal ini, saya juga sedang menyusun sebuah tulisan tentang cara kerja otak dan bagaimana pengaruhnya terhadap mindset kita. Mudah-mudahan saya diberikan kesempatan untuk menuntaskannya. Insyaallah.
Saya mau berbagi pengalaman bagaimana teori ini berpengaruh besar pada terwujudnya kerjasama riset antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan Gabungan Pengusaha Nata De Coco Indonesia (GAPNI) terkait industri nata de coco. Risetnya sedang berlangsung, saya sendiri mewakili GAPNI.
Sekitar enam bulan yang lalu, saya memperoleh informasi bahwa permintaan bahan baku nata de santan untuk industri minuman nasional dan internasional relatif sangat mendesak dan nilainya sangat besar, bisa lebih dari ratusan milyar untuk beberapa waktu ke depan. Waktu itu, saya sedang bekerja dengan seorang teman petani UMKM nata de coco di Bogor dan tinggal di rumahnya. Sebelum saya memperoleh informasi tentang bisnis nata de santan itu, sebenarnya sudah cukup lama juga saya tertarik untuk menelitinya, sekitar satu dekadean yang lalu.
Dengan peralatan dan bahan seadanya, biaya sendiri, saya langsung mengerjakannya di gudang rumah tangga teman saya tersebut. Alhamdulillah progresnya sangat baik. Namun karena keterbatasan biaya dan terutama waktu kerja saya dengan teman itu telah berakhir, saya tidak bisa menuntaskannya. Semenjak itu timbul keinginan untuk mencari sponsor. Mulai memikirkan, mencari, kira-kira siapa yang mau mendanai penelitiannya. Apakah pengusaha nata, petani biasa, lembaga penelitian, singkatnya siapapun jadi.