SARA, Suku Agama Ras dan Antar Golongan. Akronim ini merupakan produk Orde Baru yang digunakan oleh Laksamana Sudomo, pada tahun 80-an. Pada saat itu dia menjabat Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkokamtib).
Produk tersebut dijadikan sebagai alat kepentingan politik penguasa Orba yang mengatasnamakan demi keamanan Pancasila dan UUD '45.
Komkamtib dibubarkan Soeharto pada tahun 1988, diganti dengan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) dan menunjuk Panglima ABRI Try Sutrisno sebagai ketuanya. Pada tahun 2000, Gus Dur membubarkan Bakorstanas, bikin ruwet (urusan negara) katanya.
Lembaga-lembaganya udah pada dibubarkan, tetapi akronim itu masih hidup dan dipakai di ranah hukum hingga sekarang.
Oke, demikian selintas sejarah asal muasal akronim SARA itu. Disini saya mau menuliskan tentang hubungan pilpres dengan SARA, mengemukakan pemikiran mengapa kita mustahil bisa memilih pemimpin tanpa SARA.
Dari keempat komponen tersebut, Ras adalah konsekuensi biologis yang tidak bisa kita elakkan, udah dari sononya, sedangkan yang lainnya adalah konsekuensi dari hasil interaksi dengan lingkungan sosial-budaya dan lingkungan alamnya.
Perbedaan (diversity) adalah rahmat, kekayaan, karunia, karena dengan demikian banyak hal yang bisa dipelajari dan dipahami, yang bermanfaat langsung bagi kehidupan. Bayangkan seseorang yang selama hidupnya, dari lahir hingga matinya, dia hanya berada di lingkungan yang homogen, pola pikir atau mindset-nya otomatis jadi sangat terbatas, maju-kembang kehidupannya monoton.
Setiap manusia memiliki mindset yang berbeda-beda, hasil bentukan dari kombinasi karakter biologis yang ia terima dari "alam" dan dari pengalaman-pengalaman hidupnya yang dia peroleh dari lingkungan hidup atau lingkungan sosial budaya dimana ia tumbuh dan berkembang.
Jadi sangat wajar, apabila dalam konteks pemilihan pemimpin (dalam hal ini, presiden) terdapat beranekaragam pola pikir atau opini. Peran pemimpin dalam sebuah komunitas sosial benar-benar sangat sentral, sangat signifikan dalam menentukan maju tidaknya komunitas tersebut. Setiap orang semestinya memberikan kontribusi langsung dalam proses pemilihan pemimpin.
Ada yang yang memilih berdasarkan kepentingan pribadinya, sukunya, agamanya, rasnya, golongannya, latar belakang pendidikannya, profesinya dan sebagainya.
Nah, disinilah absurd-nya jargon-jargon anti SARA, yang justru menafikan atau menolak keberagaman, menolak rahmat. Aktivitas pemilihan itu justru bagian yang tak terpisahkan dari kepentingan SARA. So, biarkanlah tiap-tiap orang memilih berdasarkan pola pikirnya, keyakinannya. Saling menghormati perbedaan pemikiran, respek satu sama lain.
Yang tidak bisa dibiarkan adalah orang-orang yang mencaci maki, menghujat, merendahkan, memfitnah, menghina orang-orang yang berbeda pilihan dengannya, orang-orang yang memaksakan jagoannya atau pendapatnya kepada orang lain dengan cara-cara yang tidak bermoral, apalagi dengan kekerasan.
Sekiranya kita berkeyakinan bahwa pendapat kita mengandung kebaikan, jelaskanlah dengan baik, disertai argumen logis berdasarkan fakta-fakta yang mudah dipahami, beretika, bermoral, mengikuti norma-norma sosial budaya politik dan hukum yang berlaku.