Bulan yang lalu, seorang teman baik mengatakan bahwa dia tidak mau lagi memakai payung hujannnya yang berwarna pelangi, karena pada masa-masa ini warna itu telah terasosiasi dengan kaum LGBT+.
Dia hanyalah satu dari sekian banyaknya orang di dunia ini yang jadi risih _kalau bukan benci_ terhadap warna-warni pelangi. Baru-baru ini Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga mengalaminya ketika dia melihat dekorasi warna-warni di gedung Majelis Umum PBB. Saya yakin sekali bahwa banyak juga diantara pembaca yang mengalami hal yang sama.
Saya sendiri memang tidak sampai risih terhadap warna-warni pelangi, tidak sampai berupaya untuk menjauhi benda-benda yang berwana pelangi, hanyasaja saya sudah sangat jengah, sebatas cukup menyebalkan karena warna alamiah itu telah "dibajak" mereka.
Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu yang bergandengan dengan begitu serasinya dalam bentuk pelangi sudah jelas merupakan warna natural yang sangat indah, sebuah keindahan alam, tetapi keindahan itu semestinya benar-benar milik semuanya, rangkaian warna netral yang tidak layak hanya menjadi warna-warni alam untuk kaum tertentu saja.
Saya tidak sedang menyerukan perlawanan, peperangan atau kebencian terhadap kaum LGBT+, fokus saya hanya sebentuk upaya untuk menetralisir citra pelangi. Secara personal saya tidak membenci orangnya, tapi jelas tidak menyukai perilakunya yang sangat jelas bertentangan dengan norma-norma agama yang saya/kita anut.
Bila rekan-rekan pembaca menyetujui upaya yang sedang saya lakukan, silahkan dukung dengan membuat foto profil di medsos yang bernuansa pelangi, membuat konten-konten yang bertemakan atau berlatar belakang pelangi dan lain sebagainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H