Minggu lalu, pada saat kunjungan rutin bulanan ke pesantren, saya melihat ada luka kecil di bagian wajah putra kami. Kemudian ia menceritakan bahwa ia berkelahi/adu fisik dengan temannya sesama santri. Alasannya klise, temannya tersebut kerap mengejeknya. Syukurlah kasus perkelahian tersebut tidak berkembang dan berakhir baik.
Autoingat peristiwa tewasnya salah satu santri yang dianiaya seniornya di pesantren Darul Arafah Raya, tempat kedua anak kami mondok, yang terjadi pada Juni tahun lalu. Saya sempat shock ketika diberitahu oleh seorang teman pewarta foto internasional pada saat kami berdua ngopi bareng di cafe depan Universitas sumatera Utara beberapa bulan yang lalu.
Soalnya sebelumnya saya samasekali tidak mengetahui adanya kasus tersebut. Padahal hampir setiap hari saya rutin membaca berita nasional. Mungkin karena pesantrennya tidak seterkenal pesantren Gontor.
Jika teman-teman pembaca meluangkan waktu untuk menelusuri pemberitaan tentang kekerasan fisik dan psikis (termasuk seksual) yang terjadi di pesantren dalam satu dekade terakhir, kasusnya relatif banyak sekali. Itu, yang ketahuan. Bak fenomena gunung es, bisa jadi lebih banyak lagi kasus yang tidak terekspos ke publik sebagaimana yang diungkapkan oleh Aan Anshori, tokoh muda Nahdlatul Ulama dan koordinator mata kuliah Religion School of Entrepreneurship and Humanities di Universitas Ciputra Surabaya.
Sebagai ayah dari dua anak yang saat ini sedang mondok di pesantren, wajar sekali saya jadi cemas. Bisa dimaklumi juga ada sebagian orangtua yang samasekali tidak mau menyekolahkan anak-anaknya di pesantren dengan alasan murni karena menyangkut keamanan, bukan soal keagamaan atau soal lainnya.
Pesantren di Indonesia sudah ada sejak abad ke-17. Baiklah kita ambil dari titik hari kemerdekaan, berarti keberadaan pesantren sudah 70 tahunan di negara kita. Kemenag mencatat jumlahnya sudah sebanyak 27.722 pesantren dengan 4.175.531 santri, data yang saya peroleh melalui websitenya yang saya akses pada saat menuliskan artikel ini.
Sudah selama itu, sudah sebanyak itu, dan sudah puluhan entah ratusan kasus, yang sebagian kasusnya berupa kematian sekian santri, mengapa ya kok perangkat hukum "anti kekerasan dalam lingkungan pesantren" yang jelas dan tegas belum ada. Sikon yang sungguh sangat menyedihkan dan menyesalkan.
Walaupun sudah terlambat, mau tidak mau bagaimanapun kita sebaiknya mendukung penuh upaya Kemenag yang sedang menggarap perangkat hukumnya. Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag, Waryono Abdul Ghofur, menyampaikan beberapa hari yang lalu bahwa Rancangan Peraturan Menteri Agama tentang Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan akan segera disahkan.
Kasus kekerasan di lingkungan pesantren ini memang sangat ironis padahal pondasi pendidikannya adalah agama. Harus kita akui, akar penyebabnya memang sangat kompleks. Kasus-kasus sejenis juga banyak terjadi di lembaga pendidikan non-pesantren.
Semoga pemerintah lebih memperketat sisi teknis proses pendirian pesantren, semoga para pemilik atau pengelola pesantren lebih serius menerapkan sistem pendidikan yang aman dan ramah bagi fisik dan psikis semua anak didiknya. Sementara itu, kita sebagai para orangtua para santri tetap wajib mengawasi proses pendidikan anak-anak kita dengan cara seksama dan terus menerus.
[-Rahmad Agus Koto-]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H