Sekian tahun yang lalu, almarhum Gus Dur pernah menyampaikan bahwa jika kita muslim yang terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa. Hal itu jawaban yang diberikannya ketika seseorang meminta izin kepada beliau untuk melakukan sweeping warung makan dalam menyambut bulan puasa.
Sepintas pikir, jawaban beliau memang terkesan gak logis.
Orang yang berpuasa, yang sedang berjuang melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya malah dipinta untuk menghormati yang tidak berpuasa. Logikanya kebalek.
Tapi kalo dipikir-pikir lagi, apa yang disampaikan Gus Dur tersebut benar adanya, dalam konteks adanya upaya orang-orang atau kelompok-kelompok yang sifatnya memaksa warung makan, restoran, angkringan atau segala bentuk orang yang menjajakan makanan dan minuman untuk ditutup.
Secara latar belakang masyarakat umum yang sangat beragam. Ada yang tidak beragama Islam, ada yang sedang uzur seperti sakit dan haid, dan ada anak-anak yang belum diwajibkan untuk berpuasa.
Dari sudut pandang orang yang berpuasa, jika ianya benar-benar mempunyai niat yang benar karena Allah, sekiranya ia berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang makan dan minum-pun, hal itu tidak akan mempengaruhi puasanya. Mungkin agak berbeda jika yang berpuasa tersebut masih anak-anak yang relatif mudah tergoda.
Namun, secara fair, orang yang tidak berpuasa dan para pedagang makanan minuman sudah semestinya juga menghormati orang yang sedang berpuasa, khususnya di kota, desa atau daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam.
Tidak sembarangan makan, minum atau merokok di dekat orang-orang yang sedang berpuasa. Menutup sebagian warung/restoran/angkringan dengan kain atau plastik, sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan yang sangat suci bagi umat Islam, sekedar membantu menciptakan suasana yang khas selama bulan Ramadan.
Jadi, ya sama-sama saling menghormati ajalah. Asal jangan sampai gilak hormat aja.
Tidak perlu sweeping warung makan dan tidak perlu juga membuat spanduk yang menghimbau supaya menghormati orang yang tidak berpuasa. Itu sifatnya sudah lebay, berlebihan.
Saling berbeda itu wajar saja, kuanggap kita telah sama dewasa mampu bicara dengan logika. Eh, jadi teringat sesuatu.
Ah ya, lain ceritalah kalo udah pakek otak politik. Apapun bisa dijadikan sebagai bahan gorengan politik. Walaupun gorengannya sedang tipis-tipis, mengingat migor sedang mahal-mahalnya.
[- Rahmad Agus Koto -]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H