Post-truth. Istilah ini relatif baru muncul, dengan makna yang baru. Setelah melalui diskusi dan perdebatan alot yang panjang, tim khusus dari Oxford Langguages memilih frasa tersebut sebagai "Oxford Dictionaries Word of the Year 2016" karena pemakaiannya yang sangat intens pada tahun itu. Tahun politik Brexit Inggris dan pilpres di Amerika.
Diperkirakan pertama kali muncul di pertengahan abad kedua puluh, namun mengalami perluasan makna dalam dua dekade terakhir.
Adapun makna barunya yaitu fakta-fakta objektif atau kebenaran tidak lagi begitu berpengaruh dalam membentuk opini publik mengenai suatu peristiwa. Opini publik lebih terbentuk oleh perasaan yang sifatnya subjektif, emosional, yang berkelindan dengan pengalaman dan keyakinan personal.
Hal ini terjadi dikarenakan adanya upaya pengaburan fakta-fakta oleh pihak-pihak tertentu demi suatu tujuan, demi suatu kepentingan, terutama dalam bidang politik, dan atau dikarenakan oleh information overload yang merupakan sisi gelap dari internet dan sosial media.
Pada era ini kita benar-benar dibombardir dengan beranekaragam informasi digital yang sifatnya instan, sangat cepat datang dan pergi dengan distribusinya yang sangat massal.
Selain pandemi, beberapa peristiwa di negara kita yang masih hangat, merupakan contoh nyata dari era post-truth. Upaya pemindahan ibukota (IKN), konflik yang terjadi di desa Wadas, harga minyak goreng yang mendadak naik menyusul kelangkaannya di pasaran, dan yang paling gres tentang isu yang menerpa Ustadzah Oki Setiana Dewi dan Ustad Khalid Basalamah.
Banyak sekali netizen yang terjebak misinformasi dan disinformasi.
Terperangkap ditengah perang informasi yang benar dengan yang salah, yang jelas dengan yang gak jelas, yang diplintir dengan yang terplintir. Situasi dan kondisi yang demikian membuat netizen, khususnya yang literasi digitalnya sangat minim, menjadi kebingungan, emosional, gampang diprovokasi, sehingga membuatnya rentan terperangkap hoax, meyakini dan turut menyebarluaskan fitnah.
Buzzer profesional memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam menciptakan kabut yang menghalangi kejernihan pandangan terhadap kebenaran fakta-fakta, melalui narasinya yang apik maupun bombastis.
Sengaja atau tidak, hal tersebut bahkan tidak jarang juga dilakukan oleh media-media mainstream, lembaga-lembaga survei, bahkan oleh otoritas-otoritas resmi. Selain itu, filter bubble (algoritma sosial media) yang cenderung mencekokoki para penggunanya dengan informasi yang sama atau sejenis.
Untuk menyelamatkan diri dari jebakan era post-truth ini, diperlukan sikap skeptis dan level daya kritis yang sangat tinggi, disusul dengan menggali informasi dari sumber-sumber yang berbeda.