25 Mei 2015, Pemerintah mengundangkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Penggunaan Amonium Sulfat Sebagai Bahan Penolong Dalam Proses Pengolahan Nata De Coco. Lahirnya UU ini diakselerasi oleh peristiwa Polres Sleman yang menggerebek Industri Rumah Tangga (IRT) Nata De Coco milik DAP, pada tanggal 31 Maret 2015 (Liputan6). Penggerebekan itu dilakukan atas laporan warga yang menyebutkan bahwa IRT tersebut menggunakan Pupuk ZA (Ammonium Sulfat) dalam proses pembuatan Nata De Coconya.
Sebelumnya, saat mengikuti Seminar Nasional “Trend on Food Ingredients” yang diadakan oleh Food Ingredients Asia di JW Marriot Medan, 4 September 2014 yang lalu, saya sudah mendengar dari pegawai/seseorang yang terkait Lembaga BPOM tentang adanya wacana pembuatan aturan penggunaan Pupuk ZA dalam proses produksi Nata De Coco ini.
Disini saya hendak menguraikan adanya permasalahan atau kejanggalan kejanggalan tentang terbitnya UU yang sangat mempengaruhi jalannya usaha para petani Nata De Coco di negara kita. Saya sendiri telah menerima keluhan langsung via telepon dari para petani Nata De Coco yang diantaranya berasal dari Medan, Pekan Baru dan Yogyakarta. Hingga kini, usaha mereka menjadi mati suri akibat peristiwa penggerebekan yang tidak didasari oleh alasan hukum yang kuat itu.
Berikut ini inti dari Peraturan Kepala BPOM-RI No. 7 2015 (PKPOM-PDF)
BAB II PERSYARATAN AMONIUM SULFAT
Pasal 2
(1) Amonium Sulfat dapat digunakan dalam proses pengolahan nata de coco sebagai bahan penolong golongan nutrisi untuk mikroba (microbial nutrient atau microbial adjusts). (2) Amonium Sulfat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan mutu pangan (food grade).
Pasal 3
Persyaratan mutu pangan (food grade) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) untuk Amonium Sulfat adalah sebagai berikut:
- Kadar Amonium Sulfat antara 99,0 – 100,5% dihitung sebagai (NH4)2SO4;
- Selenium (Se) tidak lebih dari 30 mg/kg;
- Timbal (Pb) tidak lebih dari 3 mg/kg; dan
- Sisa pemijaran (abu sulfat) tidak lebih dari 0,25%.
Pasal 4