Pohon ini mungkin satu-satunya pohon yang dianggap sebagai Pohon Kehidupan karena seluruh bagian tubuhnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan manusia, mulai dari ujung akar hingga pucuk pohon.
Yap, pohon kelapa (Cocos nucifera).
Akar untuk bahan obat, bahan baku mouthwash, zat pewarna alami, dll.
Batang untuk bahan baku perabotan rumah tangga, bahan baku kertas dan jembatan penyebrangan, dll.
Daun dan tulang daun untuk pembungkus makanan, bahan baku kerajinan, atap rumah, dll.
Daging buah kelapa untuk makanan, sumber minyak goreng, bahan baku obat, dll.
Air buah kelapa untuk minuman, bahan baku obat, bahan baku cuka kelapa, bahan baku nata de coco, dll.
Batok buah kelapa sebagai sumber arang aktif, bahan baku kerajinan tangan, dll.
Sabut kelapa untuk bahan baku aksesoris, bahan baku peralatan rumah tangga, pengganti busa, media tanaman, dll.
Indonesia adalah produsen kelapa terbesar di dunia, dengan produksi rata-rata 15 milliar butir per tahun.
Luas perkebunan kelapa di Indonesia saat ini mencapai 3,8 juta hektar (Ha) yang terdiri dari perkebunan rakyat seluas 3,7 juta Ha; perkebunan milik pemerintah seluas 4.669 Ha; serta milik swasta seluas 66.189 Ha. Selama 34 tahun, luas tanaman kelapa meningkat dari 1,66 juta hektar pada tahun 1969 menjadi 3,8 juta hektar pada tahun 2011 [Datacon].
Besarnya jumlah produksi dan luasnya perkebunan kelapa kita memberikan potensi ekonomi yang sangat besar, namun, sangat disayangkan potensi tersebut belum dimanfaatkan dengan maksimal oleh pemerintah dan rakyat.
Ady Indra Pawennari, ketua Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia (AISKI) memperkirakan, Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari sabut kelapa mencapai Rp13 triliun per tahun [Kompas].
Saya sendiri pernah mengestimasi langsung untuk kota Medan, yang saya perkirakan 10.000 liter lebih air kelapa tua terbuang begitu saja, nilainya setara dengan satu juta rupiah per hari. Saat ini kota Medan dan sekitarnya menggunakan air kelapa tua kira-kira sebanyak 5.000 liter per hari sebagai bahan baku pembuatan nata de coco. Kami sendiri membutuhkan rata-rata 700 liter air kelapa per hari (senilai Rp. 150 ribu) untuk kapasitas produksi nata de coco 500 kg per hari.
Bisa dibayangkan besarnya jumlah air kelapa yang terbuang di seluruh kota-kota besar di Indonesia, demikian juga dengan batok kelapa dan bagian-bagian kelapa lainnya.
Potensi ekonomi yang terbuang ini disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah faktor edukasi (ketidaktahuan rakyat mengenai potensi dan pengolahannya), dukungan pemerintah yang kurang serius, jumlah pabrik besar pengolahan kelapa yang relatif sedikit, adanya kendala-kendala teknis seperti modal, peralatan, dan minimnya akses informasi pasar.
Berdasarkan hal tersebut, para pemangku kepentingan kelapa dibawah naungan Menteri Pertanian mendirikan Dewan Kelapa Indonesia pada tanggal 28 Agustus 2008 [Dekindo].
Sebenarnya sudah sangat terlambat apabila dibandingkan dengan Filipina (produsen kelapa terbesar kedua dan produsen olahan kelapa terbesar di dunia) yang telah mendirikan organisasi kelapa pada tanggal 30 Juni 1973, dan menyumbang 1,4 % GNP dari industri kelapa, net foreign exchange earners 750 juta dollar/tahun[PCA].
Meskipun demikian, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Semoga pemerintah melalui Dekindo dapat bergerak cepat untuk "menyelamatkan" nilai ekonomi kelapa yang terbuang begitu saja, dan unit-unit koperasi kecil bergairah untuk memanfaatkannya secara maksimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H