Di kala suntuk menyerang, seberapapun hebatnya guru dalam memberikan pemahaman, pasti akan sulit mendapat perhatian siswa. Sehingga peristiwa yang akan terjadi sudah dapat diduga kira-kira bagaimana rupanya. Kalau tak kesenyapan, ya keriuhan. Tapi bila melihat fenomena murid kekinian, rasanya keriuhan adalah sebuah keniscayaan.
Kita sebagai guru, cenderung jatuhnya memilih marah-marah sebagai tambatan. Alih-alih mengadakan pendekatan yang menyegarkan. Padahal kalau kita mau sadar diri. Sebenarnya masalah ini mudah dituntaskan. Salah satunya yaitu dengan ice breaking.
Sudah tahu bukan yang namanya ice breaking? Ice breaking ini bahasa mudahnya adalah kegiatan yang merangsang siswa agar tidak terpuruk dalam lembah kelesuan. Dengan kegiatan tersebut, anak-anak diharapkan menjadi bugar lagi dan sigap dengan pelajaran yang akan dipelajari. Tentu saja ice breaking, tidak melulu yang itu-itu saja. Karena tahu sendiri kan, yang monoton itu membosankan.
Maka untuk itu, ice breaking harus dikemas dengan konteks yang dinamis. Apa yang dimaksud dengan konteks yang dinamis ini? Hal ini akan saya ilustrasikan sebagai berikut.
Siang ini, tepat pukul 11.00 WIB., anak-anak mulai duduk dengan tidak tenang. Mulai muncul keisengan dan gurauan. Tentu melihat dan mendengar ini, guru harus menentukan sikap. Jika dipaksakan, jelas suasananya takkan kondusif. Maka untuk mengembalikan minat belajar dan sekaligus mengakomodir tingkah siswa, guru menghadirkan ice breaking berupa menggabungkan dua spidol papan tulis (boardmarker), dalam posisi berdiri.
Semua anak mencoba dan tidak semuanya berhasil. Hanya satu-dua anak yang mampu melakukannya. Meskipun begitu, mereka nampak pantang menyerah. Berkali-kali gagal, tetap mencoba (walau ini pun dibatasi, karena ini cuma ice breaking). Guru memuji sikap ini. Sekaligus menyampaikan bahwa sikap ini, betul-betul sesuai dengan sikap pantang menyerah yang terdapat pada pembelajaran PABP, di jam sebelumnya. Jadi benar-benar ketemu korelasinya.
Dan disela-sela aktivitas itu, ada celetukan "Hai Gaes!" mirip host acara televisi, dari salah seorang murid. Yang kemudian teman-temannya mulai ikut-ikutan. Mendengar ini, daripada meradang, guru merespon positif dan meminta murid yang menjadi pemicu tersebut untuk mempresentasikan apa yang dilakukan oleh temannya.
Dari kisah di atas, itulah yang saya maksud dengan konteks yang dinamis. Ini artinya ice breaking dibuat dengan menyesuaikan dengan apa yang ada dan apa yang telah dan sedang terjadi. Dengan hal ini, murid akan merasakan adanya koneksitas.
Dari cerita di atas, saya dapat gagasan untuk mengembangkan model ice breaking berbasis komunikasi. Model ini saya sebut "Kancil". Kancil ini merupakan kependekan dari Komunikatif, Cerdik dan Pantang Balik. Komunikatif artinya si anak dapat menyampaikan ekspresi, baik secara lisan dan tulisan. Cerdik maksudnya murid dapat menggali penemuan yang mempermudah. Sedangkan pantang balik adalah sikap tidak mudah berputus asa, pekerjaan harus dapat diselesaikan dengan tuntas. Dengan model semacam ini, diharapkan ice breaking tidak sekedar aksi gerak badan semata.
Bojonegoro, 25 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H