Tahun baru Hijriyah ini, kami mudik ke ortu. Nggak jauh-jauh amat sih. Cuma selemparan batu. Kalau dicek di Google Map, paling nggak sampai 5 kilometer.
Kami berangkat sesudah bekerja bakti. Tapi kali ini, tak cukup melelahkan. Tak ada keringat yang mengucur. Meski sepagian bekerja. Kok bisa, jika ada yang bertanya begitu. Di ruangan AC-kah? Tidak. Sama sekali tidak. Lha wong, kerja baktinya cuma ngebersihin "isi piring". Jelas nggak ada capeknya.
Di sepanjang perjalanan, matahari setia menemani. Walaupun panasnya memanggang punggung kami. Tapi kami rasa ini wajar. Kan perginya naik sepeda. Di benak kami, tak sebersit pun ada anggapan buruk tentang panas yang menyengat ini. Kami menganggap cuaca tetaplah bersahabat. Tingkah cuaca memang begitu. Tidak dibuat-buat. Beda sama manusia, terkadang senyum pun dibuat-buat, meski itu yang dihadapi sahabatnya sendiri. Huh, sungguh terlalu.
Tidak seberapa jauh menggowes, kami melihat beratus-ratus santri sebuah ponpes melakukan pawai untuk merayakan Tahun Baru Hijriyah. Tapi ada yang janggal. Bukan karena ketiga ponpes di sebelahnya yang nggak ikutan bareng. Tapi hampir tidak ada cowok santri yang ikut. Padahal lho, santriwati-santriwatinya sudah tampil dengan dandanan yang mencerminkan aura kesalehan. Apa alasan mereka nggak ikut? Ngejaga pondok sekaligus bebersih dan memasak? Jika ini alasannya, sungguh super, cowok idaman, suamiable pokoknya. Kayak gue gitu loh.
Lewat beberapa ratus meter, sampailah ke depan Mako Brimob. Untung deh, tak ada bapak-bapak Polisi yang bergaya ala Jojo. Itu lho pebulutangkis, yang buat cewek-cewek histeris. Kalau ada, jelas bikin jealous. Nggak jealous gimana? Lha badannya sixpack-sixpack gitu. Sedang lihat badan sendiri, udah mirip papan penggilisan.
Di tengah perjalanan, kami melihat penjual minuman legen yang juga menjual aneka gorengan. Belilah kami sebotol besar dan sebungkus gorengan untuk oleh-oleh. Lho kok cuma itu oleh-olehnya? Jangan melihat oleh-oleh dari wujudnya, dari nominalnya. Tapi lihatlah dari sisi perhatiannya. Apalagi memang ayah suka akan legen. Jadi pas, klop gitu. Oleh-oleh yang menggembirakan.
Sesampai di kota, ketemu lagi rombongan karnaval, tapi kali ini lebih besar. Soalnya yang ikut juga lebih banyak. Dan kegiatan ini sudah lama menjadi tradisi di kota kami, dalam menyambut tahun baru. Namun lagi-lagi ada anehnya, biasanya karnaval tuh yang banyak penontonnya. Yang ini lebih banyak pesertanya. Mungki mereka ini sedang menjalankan sebuah nasehat, bahwa lebih baik jadi pemain daripada penonton. Sebab penonton hanya bisa menghujat, tapi bisa melakukan apapun.
Eh, bentar-bentar, ini kok perginya ke kota? Bukankah mudik biasanya ke desa? Kami memang kebalikannya. Asli kota, tapi tinggal di desa. Saya rasa tinggal dimana saja itu sama. Tak ada yang lebih baik. Nyatanya saya sudah tinggal di desa, juga masih dicariin mahasiswa. Sebab kemarin siang, ada wa yang masuk. Dan berbunyi, "Bisa silaturahmi sekaligus memberi kajian tentang tanggal 1 Muharam, besok jam 3 sore".
Karena saya sedang lapang, ya saya iyain aja. Nanti mungkin ngasih materi berjudul "Shofar Al Awwal". Saya beri judul gini, ya gegara yang datang Mahasiswa Tarbiyah. Biar nggak kelihatan abangan banget gitu loh.
Demikian kisah kami pagi ini. Bagaimana kisah Anda di Tahun Baru Hijriyah ini?
Bojonegoro, 11 September 2018