Usulan format debat capres menggunakan Bahasa Inggris untuk Pilpres 2019 boleh dibilang sebuah kesalahan, kalau tak ingin disebut blunder yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Entah mengapa bisa timbul pikiran seperti itu, seolah-olah buah pikiran orang yang kurang berpendidikan.
Tapi di sisi lain kalau dikatakan rerata politikus di negeri ini kurang berpendidikan sepertinya tidak tepat, karena diperkirakan cukup banyak politikus yang pendidikannya setara S1, S2, dan S3 (entahlah kalau S cendol).
Di mana otaknya? Mungkin saja ada sebagian pihak yang bertanya seperti itu.
Bukankah masih sebatas usulan?
Memang masih sebatas usulan, tapi tetap saja pertanyaan sebagian pihak tadi - di mana otaknya? - layak direnungkan mengingat Bahasa Indonesia merupakan salah satu identitas bangsa ini, tapi kok bisa ada politikus yang mengusulkan hal seperti itu.Â
Bodoh sekali?
Sepertinya terlalu kejam untuk mengatakan "bodoh sekali", tapi entahlah kalau sekadar "bodoh" saja. Jangan-jangan banyak politikus di negeri ini yang bodoh, meski pendidikannya setara S1, S2, dan S3 (bahkan S cendol?). Untuk memastikannya perlu dilakukan survei yang menyeluruh, baik dan benar atau bukan asal survei saja, tapi lembaga survei mana yang berniat melakukannya?
Usulan format debat capres dalam Bahasa Inggris yang berasal dari politikus Koalisi Prabowo-Sandi yang cenderung blunder itu berusaha diperbaiki oleh Sandi lewat peran "Anak Mami" yang selama ini cukup sukses dimainkan.
Menurut Sandi tidak perlu menggunakan Bahasa Inggris dalam debat capres dengan alasan bahasa asing tersebut tidak menjangkau atau dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia.Â
Blunder pun terjadi ketika Sandi mengatakan esensi debat bukan untuk menjatuhkan lawan karena hal itu tak patut ditunjukkan kepada masyarakat. Ia pun meminta konsep debat seperti konsep musyawarah atau urun rembug.
Kalau musyawarah atau urun rembug, mengapa hanya sebatas debat capres? Tanggung, sekalian saja tidak usah ada pilpres. Pemilihan presiden dan wakil presiden pun seperti itu, atau kembali ke zaman Orde Baru, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR.Â