Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Dilarang Makan Daging (Anjing)

16 Februari 2024   21:16 Diperbarui: 16 Februari 2024   21:41 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

Diberitakan ,Polisi mengamankan truk yang mengangkut 226 ekor anjing dalam kondisi terikat di Gerbang Tol (GT) Kalikangkung, Semarang. Ratusan anjing itu dijualbelikan untuk konsumsi dan dikirim dari Subang menuju Solo Raya. Solo Raya memang dikenal sebagai salah satu wilayah yang mengonsumsi daging anjing dalam jumlah besar.  Karena itu wajar bila orang terjun ke dalam bisnis ini karena memang tidak ada larangan. Pengiriman dari Subang justru menunjukkan bahwa anjing konsumsi di Solo Raya stoknya mulai menipis atau justru pengonsumsinya bertambah. 

Penulis sendiri berasal dari Pedan, Klaten, kota kecil di Solo Raya, yang juga terkenal sebagai tempat kuliner alias keplek ilat, dan salah satunya  ada warung anjing yang cukup populer yang dalam sehari,  pada hari biasa bisa memotong 2 sampai 3 ekor anjing. Anda  bisa membayangkan pada hari-hari pesta seperti Tahun Baru mestinya lebih banyak lagi dibutuhkan daging anjing sehingga perlu "diimpor" dari  kota yang cukup jauh: Subang, yang diperkirakan stok anjing banyak dan tidak ada yang mengonsumsi. 

Kesimpulannya:  keributan di sekitar anjing ini layak dikonsumsi atau tidak  akan terus berlanjut. Apakah yang layak dikonsumsi harus terdaftar dulu sebagai hewan ternak, tentu tidak  begitu juga. Ada juga hewan yang dikonsumsi walau tidak umum di Jawa Tengah, misalnya seperti Kuda juga Ular. Sementara di daerah lain  seperti Jeneponto, daging yang dikonsumsi justru Kuda daripada yang lain; dan di Manado, orang biasa makan daging ular piton (Sawa atau Sanca). Mungkin juga Angsa (Banyak) juga jarang dijual tapi juga mulai dikonsumsi. Masing-masing daerah tentunya punya sejarah dalam mengonsumi hewan sebagai cara bertahan untuk kelangsungan hidup. Juga misalnya Gunung Kidul, di Yogyakarta yang suka mengonsumsi belalang.

Dari sejarah, kita bisa melihat bahwa ada pasang surut dalam hal larang-melarang makan daging ini, termasuk daging anjing. Mereka yang percaya bahwa tubuh bukanlah kuburan bangkai-bangkai atau juga demi kesehatan malahan disiplin tidak mengonsumsi semua olahan daging.  Terlihat juga bahwa diskriminasi dalam mengonsumsi daging hewani karena berhubungan dengan kebutuhan kerja atau kelangsungan hidup manusia. Dalam suatu masa,  Sapi dilarang dikonsumsi karena dibutuhkan untuk mengolah tanah untuk pertanian. Anjing karena belum ada gunanya boleh dikonsumsi.  Kucing pernah suatu masa dicintai karena menolong petani memberantas tikus sehingga dilarang dikonsumsi, barangkali kecuali di Manado, Sulawesi Utara. Anthony Reid mencatat dalam bukunya Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, terbitan Pustaka Obor, Jakarta, 2014 halaman 41 bahwa: "Di beberapa tempat anjing juga dimakan. Sangat berbeda dengan kucing, yang tidak pernah dimakan dan yang sering dipandang setengah suci karena melindungi padi dari hewan-hewan pengerat, anjing merupakan "hewan tak bertuan" di desa-desa Asia Tenggara...tidak merupakan sahabat khusus manusia." 

Situasi ini jelas berbeda dengan sekarang yang menganggap anjing sebagai  sahabat khusus manusia yang tidak layak dikonsumsi sebab tampaknya daging konsumsi semakin melimpah sehingga ada pilihan yang dianggap layak. Tetapi apa yang dicatat Anthony Reid tersebut menunjukkan adanya  kekuasaan dalam hal untuk memenuhi kebutuhan protein daging rakyatnya yang mengatur bahwa daging anjinglah yang harus dimakan bukan kucing sebab kucing dianggap lebih bernilai dan berdaya-guna bagi kebutuhan petani sebagaimana juga kemudian kerbau dan sapi;  sementara jumlah kerbau dan sapi sedikit. Dengan demikian menjamin tetap ada daging yang dimakan petani (rakyat) otomatis juga menjamin kekuasaan tetap langgeng.  Begitulah juga dahulu sebagaimana dituliskan Prapanca dalam Puisi Kakawin Nagarakretagama, di masa Raja Hayam Wuruk berkuasa: "... walau daging anjing, keledai, cacing, tikus, katak termasuk daging-daging yang dilarang dikonsumsi tetapi Sang Raja tetap menyediakan untuk rakyat yang dilindungi dan hendak disenangkan perutnya.

Kalau sekarang, kekuasaan dituntut melarang  rakyat  makan daging anjing,  pertanyaan  bisa disampaikan:  apakah daging anjing yang selama ini dikonsumsi dengan perputaran ekonomi  di dalamnya,   bisakah  digantikan dengan penyediaan daging yang lain yang dianggap melimpah itu?  Tentu saja ini pun akan menaikkan harga-harga daging yang lain ketika daging anjing hilang dari pasaran di samping juga merusak pola mata pencaharian rakyat yang terlibat di dalamnya;  sementara kita juga mengerti beberapa ketersediaan daging itu diimpor dan menjadi bagian dari kapitalisme global. Kalau beralasan karena kesehatan, tentu ini juga debatable. Mengonsumsi daging anjing itu sudah ribuan tahun, melewati masa Majapahit pun melewati era Islam. Orang Solo dan sekitarnya menyebut daging anjing dengan "Jamu". Jamu adalah identik dengan kesehatan. Sebagian orang juga percaya bahwa sop daging anjing berguna untuk menyembuhkan mereka yang terkena Demam Berdarah.

Dengan begitu, bisa jadi kampanye "Dilarang Makan Daging Anjing" sebenarnya juga bagian dari persaingan bisnis di bidang perdagingan saja sama seperti kampanye "Dilarang Merokok"  yang  di sisi lain juga menjadi agenda kapitalisme global dalam merebut pasar rokok kretek di Indonesia yang besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun