Bung Karno pasca keruwetan dan mengalah pada pelaksanan demokrasi liberal akhirnya memutuskan mengambil-alih kendali negara ke tangannya. Dengan melalui Dekrit 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945, mulailah disusun arah baru pembangunan Republik Indonesia. Pada situasi inilah Bung Karno mengajukan konsepsi yang kemudian  dikenal sebagai Konsepsi Presiden Sukarno yang semakin menegaskan jalan Indonesia menuju Sosialisme Indonesia atau Masyarakat Adil dan Makmur. Revolusi Indonesia Belum Selesai pun menggema dan menuntut diselesaikan sebagaimana semangat dari Manifesto Politik Indonesia yang kemudian ditetapkan sebagai Haluan Negara.Â
Kini, dalam situasi menuju seabad Indonesia, 2045, Presiden Jokowi menjelang berakhirnya masa jabatan di periode kedua selalu menekankan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk mencapai Indonesia Emas di tahun 2045. Indonesia Emas yang dimaksud di sini tak lain adalah mencapai puncak keemasan, kejayaan dan kemegahan sebagaimana Majapahit di era Hayam Wuruk. Karena ini dilihat sebagai peluang bukan suatu kepastian, Indonesia yang jaya itu bisa luput digapai kalau tidak disiapkan dengan betul, teliti, sistematis dan jelas aktor politiknya. Jokowi yakin dengan peluang emas tersebut yaitu adanya bonus demografi yang berpuncak pada tahun 2030 sehingga perlu disiapkan Sumber Daya Manusia yang unggul dengan memanfaatkan Sumber Daya Alam yang melimpah melalui Hilirisasi Industri yang memberikan kemajuan kesejahteraan rakyat. Itulah konsepsi Presiden Jokowi menuju Indonesia Emas 2045.
Orang boleh setuju atau tidak setuju dengan konsepsi Presiden Jokowi tersebut dalam membaca peluang tersebut. Tetapi jelas bahwa Jokowi sudah membeberkan visi dan strategi untuk mencapai Indonesia Emas tersebut. Dan visi itu jelas menimbulkan pertentangan terutama dalam memilih aktor politik yang harus memimpin visi mencapai Indonesia Emas tersebut. Jokowi sebagai Presiden yang mempunyai visi tampak ragu dengan aktor politik periode ke depan sementara dirinya terhambat secara konstitusional sehingga muncul ungkapan "cawe- cawe". Di sisi lain jagad politik juga sempat diramaikan dengan manuver politik Tiga Periode, Perpanjangan Jabatan Presiden hingga Tunda Pemilu. Ini semua bisa dihubungkan dengan keyakinan Jokowi akan peluang emas tersebut sementara di hadapan dia tidak ada pilihan aktor yang tepat, mumpuni dan meyakinkan untuk dapat memenuhi harapan dalam menghadapi tantangan ke depan dan merebut peluang emas yang ada di depan mata.
Dari visi Jokowi terlihat bahwa Pemilu 2024 (atau Periode 5 tahun mendatang) menjadi Pemilu yang krusial dan menentukan nasib Bangsa Indonesia. Sebagaimana orang yang mempunyai visi dan sekaligus keyakinan yang seakan menjadi penglihatan, orang tersebut biasanya tidak akan ragu-ragu menjalankan "amanah" dan juga tidak akan menghindar atau lari dari "tugas" kalau tidak ingin menyesal hingga terbawa mati. Â Berkali-kali seakan Jokowi berusaha meyakinkan adanya peluang emas tersebut dan tidak boleh lepas. Dan terlihat, Jokowi tidak melepaskan peluang tersebut dengan merestui Gibran Rakabuming Raka, putranya sendiri, maju sebagai Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto; dan secara personal, Prabowo Subianto juga berusaha meyakinkan Presiden Jokowi bahwa visi mereka sama dan sejalan yaitu dengan menerima Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presidennya. Selain itu, Jokowi juga merestui Kaesang, putranya yang lain menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia yang seakan paralel dengan Gayatri dan Tribhuwana menyiapkan Hayam Wuruk yang muda belia memimpin Majapahit mencapai puncak keemasan.
Sekali lagi, orang boleh tidak setuju dengan cara Jokowi hendak mewujudkan Indonesia Emas 2045 itu. Dan ketidak-setujuan itu pun kini bisa dilakukan dengan memenangkan Calon Presiden lain yang tidak ada hubungan dengan Jokowi secara keluarga. Tetapi konsepsi Presiden Jokowi dalam menuju Indonesia Emas seperti yang sudah disampaikan di atas bisa menjadi pengingat bahwa itulah jalan atau peluang emas menuju Indonesia Emas sebagaimana konsepsi Presiden Sukarno ketika kembali ke UUD 1945 pada tahun 1959 dan seterusnya menemukan kembali jalan revolusi untuk menuju Indonesia Emas yaitu masyarakat adil dan makmur sebagai visi Indonesia Merdeka.
Memang konsepsi atau visi Presiden Jokowi tidaklah seperti konsepsi Presiden Sukarno yang kemudian menjadi suatu ajaran bagaimana menjalankan revolusi dua tahap itu hingga terwujud masyarakat adil dan makmur atau sosialisme ala Indonesia yang bisa diduplikat ke negara-negara lain. Konsepsi Presiden Jokowi hanyalah bagaimana memanfaatkan peluang yang ada untuk menuju Indonesia Emas persis seperti pidato Bung Karno di depan forum sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 yang menekankan pada kemauan dan keberanian untuk Indonesia Merdeka Sekarang tanpa dibebani pikiran jlimet, takut ini dan itu hingga memberikan berbagai syarat ini dan itu untuk Indonesia Merdeka. Padahal yang penting dan pokok atau strategis adalah Indonesia Merdeka Sekarang; yang lain-lain pikir keri.
Begitulah Presiden Jokowi dalam membeberkan Strategi meraih Indonesia Emas 2045 juga menekankan: "Tinggal apakah kita mau memfokuskan energi kita untuk bergerak maju atau justru membuang energi kita untuk hal-hal yang tidak produktif yang memecah-belah, bahkan yang membuat kita melangkah mundur."  Dari sinilah muncul konsepsi yang lain yaitu perlunya Persatuan Nasional yaitu rekonsiliasi nasional yang seakan Prabowo Subianto yang membawa beban masa lalu (Orde Baru) dengan berbagai pelanggaran HAM dengan Jokowi yang mempunyai visi mendatang untuk Indonesia Emas. Untuk mengurangi beban masa lalu yang penuh pelanggaran HAM itu Jokowi telah mendahulukan jalur penyelesaian non yudisial dengan membuat Inpres No  2 Tahun 2023 tanpa menolak jalur Yudisial. Inpres tersebut merupakan upaya negara untuk memenuhi hak korban atau ahli warisnya maupun pihak-pihak yang terdampak atas peristiwa pelanggaran HAM Berat tersebut.
Mungkin memang kini saatnya kita berpikir dan merenungkan peristiwa demi peristiwa yang dialami Republik. Jatuh bangun sejak dimerdekakan. Hampir setiap tokoh yang telah berjuang dan memerdekakan negeri punya salah dan kebaikan. Masing-masing kesalahan para tokoh bisa dijadikan alasan untuk merendahkan hingga serendah-rendahnya dan sehina-hinanya yang bisa berlaku juga pada Sukarno sehingga seakan-akan telah melakukan perbuatan tercela walau kenyataan sejarah Republik Indonesia diproklamasikan oleh Sukarno. Tetapi di atas semua kesalahan yang bisa ditimpakan pada para tokoh, bukankah lebih baik kita mengedepankan nilai-nilai kebaikan yang pernah diberikan para tokoh pejuang kemerdekaan tersebut, bahkan bila perlu Jenderal Soeharto, demi Indonesia Maju menyongsong seabad Kemerdekaan Indonesia.
Apa arti kemerdekaan yang telah diperjuangkan selain Indonesia adil makmur terbebas dari kolonialisme yang pernah dialami bersama-sama? Kesalahan-kesalahan yang dalam perspektif Barat (Eropa dan Amerika Serikat) adalah pelanggaran HAM, bisa kita selesaikan secara gotong royong dalam perspektif nilai-nilai ketimuran kalau toh pengadilan yudisial hanya menjadi alat pemecah-belah bangsa sehingga kita terus-menerus menjadi lemah sebagai bangsa karena terjadi perpecahan internal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H