Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pertarungan dan Pertaruhan Moral di Pemilu 2024

21 November 2023   11:09 Diperbarui: 7 Februari 2024   03:08 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pertarungan Pemilu khususnya Pilpres 2024 kali ini bukan hanya pertarungan politik tapi juga pertaruhan moral atau etik. Sebagaimana kita ketahui bersama, isu pelanggaran moral atau etik itu mencuat bersamaan dengan majunya Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, sebagai Cawapres Prabowo Subianto. Gugatan demi gugatan terhadap lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres bermunculan baik itu terhadap Putusan MK yaitu uji materi putusan MK No 90/2023 tentang syarat usia capres-cawapres di bawah Ketua Hakim Konstitusi yang baru Suhartoyo, yang dinilai minus kepentingan konflik daripada Anwar Usman yang merupakan paman Gibran, maupun terhadap putusan lembaga penyelenggara pemilu sendiri, KPU, yang dianggap telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum.

Walau gugatan datang mengiringi penetapan tiga pasangan capres dan cawapres, KPU tetap terus melanjutkan tahapan Pemilu 2024, bahkan kini masing-masing pasangan sudah mendapatkan nomor urut. Dengan demikian antara keberlangsungan pemilu dan gugatan terhadap Gibran, cawapres Prabowo, yang dianggap tidak etik dan tidak layak, kini menjadi kenyataan politik yang bertarung di Pemilu 2024.

"Rakyat sudah cerdas" begitu banyak dikatakan dalam berbagai forum ketika menilai keterlibatan rakyat dalam ajang pemilu terutama di era reformasi. Kini kecerdasan rakyat dalam memilih selain cermat terhadap figure dan tidak terbujuk rayuan uang (money politik dalam memilih) juga diuji kewaskitaannya dalam segi yang lain yaitu perasaan etik yang terhubung luas dengan sejarah, ekonomi, sosial, budaya dan politik dari segi praktis sendiri sebagaimana misalnya orang memahami etika politik berdasarkan sumber pengetahuannya (epistemologis) yang didapat atau dipelajarinya seperti pernyataan politik bahwa Gibran seharusnya mundur dari cawapres karena produk dari keputusan MK yang dinyatakan mengandung pelanggaran etik. Padahal  Pernyataan MKMK  yang menyatakan adanya pelanggaran etik sendiri kalau dibaca secara politik adalah juga bagian dari permainan kekuasaan sebab banyak kekuasaan (dalam kenyataan sejarah) dapat diraih dengan cara-cara yang dianggap secara formal tidak etik dan penuh pelanggaran sosial dan budaya bahkan;  sebagaimana orang sering menyebut "Machiavelis" atau menghalalkan segala cara tetapi di kemudian hari mendapatkan kebenaran sejarah sehingga disebut visioner secara sejarah tetapi juga di kemudiannya lagi terjadi gugatan yang baru. Kita tidak akan mengerti kapan berhentinya karena begitulah sejarah manusia yang terus-menerus berlangsung juga dalam pergulatan etis. Dalam hal ini kita bisa berkaca pada leluhur Majapahit misalnya, Ken Arok, yang dalam hidupnya menuju tangga kekuasaan penuh dengan pelanggaran-pelanggaran etik tetapi Majapahit hingga sekarang dijadikan pijakan kebesaran dan kejayaan  masa lalu Indonesia.

Sampai sekarang pun  misalnya, apakah kekuasaan yang ditegakkan oleh Orde Baru di tahun 1965, dengan menyingkirkan secara kejam dan keji (memenjarakan tanpa pengadilan, membunuh, menyiksa dan memperkosa) mereka-mereka para pendukung Sukarno dan komunisme, adalah kekuasaan yang berlandaskan etika (politik) ? Komnas HAM menyatakan pelanggaran HAM  Berat.  Sebagian aktivis HAM ingin menyeret tokoh Orde Baru, Jenderal Soeharto sebagai penjahat kemanusiaan ke Pengadilan Internasional. Tetapi toh kekuasaan Orde Baru itu dianggap sebagai kekuasaan yang sah tak melanggar etika dan sebagian ketetapan-ketetapan produk Orde Baru  yang berkaitan dengan komunisme masih berlaku hingga hari ini dan sebagian masyaratkat Indonesia bahkan menginginkan Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Walau begitu, secara politik,  kita juga bisa melihat bahwa partai-partai yang langsung mengaitkan dirinya dengan Orde Baru terutama sebagai kroni Jenderal Soeharto gagal memenangkan suara dalam setiap pemilu di era reformasi.

Mungkin kini saatnya kita berpikir dan merenungkan peristiwa demi peristiwa yang dialami Republik. Jatuh bangun sejak dimerdekakan. Hampir setiap tokoh yang telah berjuang dan memerdekakan negeri punya salah dan kebaikan. Masing-masing kesalahan para tokoh bisa dijadikan alasan untuk merendahkan hingga serendah-rendahnya dan sehina-hinanya yang bisa berlaku juga pada Sukarno sehingga seakan-akan telah melakukan perbuatan tercela walau kenyataan sejarah Republik Indonesia diproklamasikan oleh Sukarno. Tetapi di atas semua kesalahan yang bisa ditimpakan pada para tokoh, bukankah lebih baik kita mengedepankan nilai-nilai kebaikan yang pernah diberikan para tokoh pejuang kemerdekaan tersebut, bahkan bila perlu Jenderal Soeharto, demi Indonesia Maju menyongsong seabad Kemerdekaan Indonesia. Apa arti kemerdekaan yang telah diperjuangkan selain Indonesia adil makmur terbebas dari kolonialisme yang pernah dialami bersama-sama? Kesalahan-kesalahan yang dalam perspektif Barat (Eropa dan Amerika Serikat) adalah pelanggaran HAM, bisa kita selesaikan secara gotong royong dalam perspektif nilai-nilai ketimuran kalau toh pengadilan yudisial hanya menjadi alat pemecah-belah bangsa sehingga kita terus-menerus menjadi lemah sebagai bangsa karena terjadi perpecahan internal. Kalau memang secara etika,   manusia pada dasarnya dilahirkan baik adanya termasuk niat-niatnya, sejarah akan dengan sendirinya membersihkan yang kotor dari panggung dunia.

Dengan demikian Pemilu 2024 kali ini yang juga dipenuhi seruan-seruan moral  agar memilih pemimpin berdasarkan moral menjadi ajang pertarungan dan pertaruhan moral para pemimpin ke depan. Keputusan etik para hakim yang mulia akan menemukan batu ujiannya pada ajang politik pemilu terutama Pilpres. Rakyat yang sudah cerdas itu akan memilih dan bersandar pada pasangan capres-cawapres yang mana?

Rakyat butuh kepastian hidup"agar tak menjadi ranting kering di ladang sendiri," tuntut Agus Jabo Priyono, Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) dalam salah satu baris puisinya yang berjudul Barisan Ibu. Sementara itu "Masalah moral, masalah akhlak, Biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu. Peraturan yang sehat yang kami mau," begitu nyanyi Iwan Fals. Dan akan dijadikannya Manusia Setengah Dewa, Presiden Baru yang kira-kira bisa mewujudkan keadilan dan kemakmuran.

"Siapa yang tidak punya dosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu-batu ini pada perempuan pendosa itu," demikian seseorang berkata. Karena setiap orang punya dosa, tak adalah yang berani memulai melemparkan batu pada perempuan itu melainkan satu-persatu pergi meninggalkan perempuan itu dengan selamat. Tetapi kita pada Pemilu kali  ini,  tak akan meninggalkan kotak-kotak suara  yang seringkali  menjadi kotak-kotak yang menjadikan kita berdosa. Kita memang berdosa (entah dari mana mulainya, mungkin dari korupsi, mungkin dari membiarkan negara ini dikuasai para pendosa), tetapi marilah kita, lemparkan suara-suara kita pada kotak-kotak suara yang menurut kita bisa membersihkan dosa-dosa kita sehingga bisa membawa Indonesia yang maju, adil dan makmur sebagaimana harapan para pendiri bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun