Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Problem Etis di Mahkamah Konstitusi

14 November 2023   09:08 Diperbarui: 7 Februari 2024   00:46 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Plesetan Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga adalah problem etis yang serius bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Di dalamnya terkandung, pesan bahwa perjalanan demokrasi yang seharusnya bisa menjadikan semua rakyat Indonesia setara di hadapan konstitusi ternyata masih hanya menguntungkan keluarga dan golongannya saja. Tindakan politik yang menguntungkan keluarga ini merupakan kolusi, nepotis, yang seharusnya tidak ada dalam langgam berdemokrasi. Tindakan seperti ini hanya ada dalam bentuk pemerintahan kerajaan yang membolehkan tumbuhnya politik dinasti bukan pada pemerintahan republik yang digadang dan dharap dari pendirian Republik Indonesia bertahun yang lalu ketika lepas dari kolonialisme.

Munculnya problem etis di Mahkamah Konstitusi yang diplesetkan menjadi Mahkamah Keluarga itu tentu tidak bisa disalahkan atau dikotakkan sebagai problem Mahkamah Konstitusi kita sebagai lembaga. Akar masalahnya  bukanlah di Mahkamah Konstitusi tapi pada UU yang mensyaratkan bagaimana Capres dan Cawapres harus dipilih. Konflik kepentingan sebagaimana kini dituduhkan pada Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah terjadi sejak UU syarat capres dan cawapres disusun. Undang-Undang tersebut sangat diskriminatif dan mengkhianati semangat konstitusi yang seharusnya menjamin hak setiap warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan usia, bias kesehatan jiwa dan jasmani, kecenderungan,  sex,  politik dan ideologi, dan segala sesuatu yang bisa ditafsirkan sepihak  seperti syarat ke-10: "Tidak pernah melakukan perbuatan tercela".

Dengan membaca syarat-syarat Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 169 UU Pemilu no 7 tahun 2017,  kita bisa melihat hampir semua pointnya bisa disengketakan di Mahkamah Konstitusi sebagaimana syarat no 17 yaitu "Berusia paling rendah 40 tahun" yang dalam sengketa di MK telah diubah  menjadi "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Point yang dulu sempat mengemuka misalnya syarat pendidikan. Ada yang mengusulkan agar syarat pendidikan adalah strata 1. Jelas ini adalah syarat yang bisa menyingkirkan calon presiden yang tak bergelar sarjana seperti Megawati Soekarnoputri. Syarat harus strata satu akhirnya ditolak. Sementara syarat nomer  5 yaitu sehat rohani  dan jasmani yang cenderung menyingkirkan Gus Dur sebagai calon presiden potensial diterima. Syarat sehat  rohani dan  jasmani sebenarnya juga debatable. Dari sejarah kita bisa melihat banyak  tokoh yang secara jasmani cacat bisa memimpin  dan memenangkan pertarungan bahkan menjadi Raja, misalnya Ivar The Boneless dari  Viking, yang merangkak seperti ular, Timur Lenk, si Pincang dari Samarkand, Uzbekistan dan masih bisa ditunjukkan dari sejarah modern kontemporer, David Paterson, Gubernur New York yang buta.  Syarat ketiga  mengatakan bahwa capres dan cawapres haruslah orang yang sudah berkeluarga, menikah. Ini menutup bagi mereka yang tidak mau bersuami atau beristeri.  Nomer ke-19, bukan bekas anggota PKI. Ini  memungkinkan penelitian khusus sehingga kemungkinan diskriminasi yang lain bisa ditimbulkan.

Tak hanya syarat-syarat capres-cawapres tersebut yang bisa menjadi sengketa di MK karena dianggap  diskriminatif. Syarat berikutnya juga menimbulkan problem etis karena capres-cawapres tersebut hanya bisa dicalonkan oleh Partai. Tak ada pintu lain untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden seperti jalur independen atau non partai padahal jumlah yang tidak mau berpartai juga besar. Dari angka golput setiap pemilu jumlah itu bisa mendekati 30 % ,  jumlah yang sulit dicapai oleh pemenang pemilu di Indonesia. Untuk masuk atau dicalonkan melalui partai tersebut ternyata masih ada lagi syaratnya yaitu minimal 20 % dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

 

Syarat-syarat yang diskriminatif ini terus disengketakan di MK walau kalah seperti Parliementary dan Presidential Treshold. Suatu saat bisa menjadi problem etis di Mahkamah Konstitusi sebagaimana gugatan syarat usia yang dianggap memberi jalan pencawapresan Gibran Rakabuming Raka. Padahal karena syarat capres dan cawapres yang diundangkan itu memang menimbulkan problem konstitusional, melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Kebetulan atau blessing in disguise, ada Gibran Rakabuming Raka, sehingga tuntutan seakan mudah dimenangkan. Kalau sejarah tidak melahirkan Gibran, barangkali tuntutan perubahan syarat capres dan cawapres bedasarkan usia itu  mustahil dimenangkan. Ke depan,  tentunya pertimbangan syarat usia minimal 40 tahun menjadi tidak relevan dan syarat-syarat capres-cawapres lainnya yang (debatable) melanggar hak konstitusi warga negara bisa ditinjau ulang oleh para anggota DPR dan Presiden Baru dari pada berpotensi menimbulkan problem etis di Mahkamah Konstitusi.

Kalau ditanya,  lantas pemilu macam apa yang dapat memberikan syarat-syarat yang lebih baik sehingga tidak banyak menimbulkan problem konstitusional dengan warga negara? Jawabnya, bisa berkaca pada sejarah pemilu Republik sendiri yaitu pada Pemilu 1955 ketika Republik masih berusia lima tahun; ketika pemilu tak hanya menjadi ajang konflik kepentingan tetapi juga ajang mengisi kemerdekaan,  memperjuangkan dan mewujudkan gagasan setelah mengenyahkan kolonialisme sebagaimana yang ditorehkan dalam Pembukaan UUD 1945.

   

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun