Bagi orang modern pandangan Thales dan filsuf-filsuf alam Yunani ini akan tampak naf. Tapi di balik, kenaifan tersebut, orang-orang Yunani ini telah memulai berpikir filosofis  yakni mengandalkan daya pikir manusia yaitu otaknya sementara di belahan bumi yang lain orang-orang tak sanggup atau tak mau atau tak berani menggunakan otaknya untuk memahami dan menjelaskan misteri alam semesta. Kebanyakan menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh kekuatan adikodrati dan seringkali menjadi dogma yang tak boleh dibantah. Menanyakan saja atau menggugat bisa dihukum mati; terlebih pada masyarakat yang menganut sistem taboo alias pamali dalam mempertahankan tatanan sosialnya. Salah satu filsuf Yunani sebelum masehi misalnya, dihukum mati karena ia menyatakan: seandainya kambing bisa melukis, pastilah ia akan melukiskan wajah dewa yang disembahnya. Sementara itu filsafat materialisme naif Thales terus berkembang berdialektika dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu Kimia misalnya telah mengindentikasi puluhan unsur penyusun alam semesta. Air yang dikatakan Thales sendiri tersusun dari unsur H2O yakni Hidrogen dan Oksigen.
Â
Kita lihat bagaimana dua pandangan ini masih berkuasa dalam masyarakat kita: hampir 2500 tahun sesudah Thales menyatakan air adalah materi pokok dan primer  alam semesta; bukan yang lain yakni idealisme: gagasan, roh atau ide; kekuatan di luar daya pikir manusia: adikodrati. Dan tentu saja dua pandangan ini menguasai pandangan hidup kita, terlebih pada mereka yang masih terbelenggu pikiran-pikiran  feudal, animisme dan dinamisme. Bukankah di antara kita ada yang berpendapat bahwa kehidupan kita sudah digariskan dan diatur oleh Hyang Kuasa?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H