Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Presiden 2024: Damarwulan atau Menak Jingga?

24 Januari 2023   18:31 Diperbarui: 24 Januari 2023   18:39 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam waktu tak lama lagi, pada tahun 2024, Republik kita akan melahirkan presiden baru. Kita belum tahu: lelaki atau perempuan. Calon-calon presiden lelaki banyak bermunculan dan relawan-relawannya pun telah bergerak membangun jejaring dan mempromosikan; sementara calon presiden perempuan sedikit. Dari yang sedikit itu pun, hampir tak ada jaringan relawan yang terbangun dan mempromosikannya, kecuali dari kalangan sendiri. Anehnya juga di kalangan perempuan juga belum terbangun calon presiden yang hendak diusung. 

Penting dan gentingnya ajang pemilu yang akan melahirkan presiden 2024, bisa kita lihat dan baca dengan berbagai prolog menuju 2024 seperti isu perubahan konstitusi untuk jabatan presiden 3 periode dan perpanjangan Jabatan Presiden, juga diperbolehkannya Presiden yang sudah habis periodenya untuk maju lagi sebagai wakil presiden. Isu-isu ini pun masih diterpa akan ada kecurangan dalam pemilu 2024, yang memaksa pemain tua, mantan Presiden juga, untuk turun gunung terlibat dalam ajang pemilu 2024. Apakah ini berarti juga menjadi salah satu capres 2024?

Tahun 2024 menjadi istimewa, penting dan genting, entah apa istimewanya perlu refleksi yang mendalam, tetapi salah satu partai baru yaitu Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) yang ketua umumnya: Agus Jabo Priyono sempat masuk juga  dalam radar capres 2024 dalam survey SMRC, menyatakan bahwa ini adalah pertarungan terakhir. "Bagi kami, politik elektoral 2024 ini adalah the last battle. Bagi aktivis 98, ini pertempuran terakhir, momentum yang sangat krusial untuk berjuang dalam arena elektoral. Tidak hanya berjuang, tidak hanya ikut, tapi harus menang," katanya kepada infoindonesia.id

PRIMA sendiri sampai sekarang masih berjuang untuk bisa ikut pemilu 2024, melalui gugatan ke PTUN dan benteng keadilan terakhir: Mahkamah Agung. PRIMA menilai diperlakukan tidak adil oleh KPU sehingga secara sengaja tidak diloloskan dengan berbagai alasan sementara ada Partai lain yang  tidak memenuhi syarat tapi dipaksakan dengan berbagai cara oleh KPU agar bisa lolos verifikasi dan ikut pemilu 2024.

***

Kalau kita melihat sejarah Majapahit, dalam rentang seabad, Kerajaan Majapahit melahirkan dua raja perempuan yaitu Tribhuwana Tunggadewi dan Suhita. Tribhuwana Tunggadewi memimpin  dalam situasi krisis dan barangkali karenanya bertangan besi. Ia menumpas tanpa ragu pemberontakan Sadeng dan Keta, dan terus mewujudkan cita-cita leluhurnya: Kertanagara menyatukan Nusantara. Ia merekrut Gajah Mada yang setia dan punya pengalaman militer menjadi Perdana Menteri. Di bawah Tribhuwanalah, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa untuk menyatukan Nusantara.

Suhita, raja perempuan terakhir Majapahit juga, memimpin dalam situasi krisis. Majapahit  semakin lemah. Paregreg Istana  menyelimuti Majapahit. Suhita tidak berhasil membawa naik Majapahit sebagaimana Tribhuwana. Hampir tidak ada prasasti di bawah kuasanya dilahirkan walau ia berkuasa cukup panjang: hampir setengah abad! atau barangkali belum saja ditemukan prasasti atas namanya sampai hari ini. Pemberontakan di bawahnya  tidak menjadikannya kuat sebagaimana Tribhuwana tetapi menjadikannya raja perempuan yang dihina, dicemooh dan lemah di mata Menak Jingga sehingga memerlukan jagoan seperti Damarwulan untuk mengatasinya.

***

Republik kita, dalam perjalanan menuju seabad, baru menghasilkan  satu  Presiden Perempuan: Megawati Sukarnoputri;  dilahirkan juga dalam situasi krisis; tapi tidak seindah perjalanan Tribhuwana, Megawati masih harus belok kiri-belok kanan menuju puncak. Kegagalannya menuju puncak berikutnya memaksanya menjadi Gayatri, pemain di belakang layar yang dihormati dan disegani raja-raja Majapahit. 

Calon Presiden perempuan berikutnya yang kedua, stoknya ada dalam rentang abad ini tetapi  karakter seperti Tribhuwana belum ada. Yang ada sebagaimana Suhita, ia memerlukan jagoan dalam memimpin. Karena itu muncul juga para Menak Jingga, yang baik terbuka atau tertutup, mengejek, menghina  dan mencemooh betapa tidak pantas  dan layaknya perempuan angkuh dan bodoh, memimpin Majapahit yang agung. Padahal jelas bahwa  Sang Suhita adalah pewaris Majapahit  yang paling layak dan pantas. Ia hanya perlu Sang Damarwulan yang patriotis, setia dan jujur sebagaimana Gajah Mada untuk menjadi pendamping kepemimpinannya.

2024, kita akan menjadi saksi apakah Menak Jingga yang menang atau Damarwulan.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun