Bahkan seorang tiran Roma, Kaisar Roma, terkadang tidak bisa tidak harus mendengarkan publik ketika mengambil keputusan. Momentum itu terjadi di ruang publik seperti teater; misal ketika Kaisar harus mengambil keputusan apakah seorang gladiator harus dimerdekakan atau tetap menjadi budak; harus dieksekusi mati atau dibiarkan hidup. Semua keputusan mendengarkan publik itu dengan pertimbangan agar tetap mendapat dukungan rakyat  dan  kaisar terbukti bisa menyenangkan selera rakyat dengan memenuhinya sehingga tidak mendowngrade  popularitas Kaisar.
Menuju Pemilihan Presiden 2024, banyak calon-calon Presiden yang diusung dan didesakkan  rakyat  tanpa perlu pertimbangan  prosedur kepartaian. Padahal pencalonan Presiden secara Undang-Undang hanya lewat satu pintu yaitu Partai. Tidak ada calon independen di luar partai sebagaimana pemilihan Kepala Daerah. Para pimpinan Partai seakan dipaksa mendengarkan aspirasi dan suara publik agar tetap popular dan mengerti kehendak rakyat.  Capres yang diusung bila tak sesuai dengan aspirasi publik di luar partai akan mempengaruhi  pemilihan legislatif. Diperkirakan perolehan suara Partai tersebut akan turun  dan partai kehilangan pendukung.
Semua itu menjadi kekhawatiran partai karena partai tersebut sebenarnya juga tidak mengerti jumlah loyalis anggota partainya.  Hanya partai-partai tertentu terutama yang berbasiskan Kader yang mengerti  jumlah dan kekuatan riil anggotanya.  Sebagaimana banyak diinfokan melalui lembaga survey bahwa rakyat Indonesia yang sadar berpartai tidaklah besar tetapi kecil  sama halya dengan angkatan kerja yang sadar berserikat jumlahnya tidak besar; kebanyakan malah anti serikat dengan berbagai alasan. Inilah yang membuat jumlah golput lebih besar dari pemenang pemilu sekalipun. Pemenang Pemilu hanya berkisar 20 % sementara angka Golput lebih dari itu bisa sekitar 30 %. Medan politik "yang tidak memilih" demikian besar sehingga selalu ada peluang bagi partai baru sebagaimana dulu Partai Demokrat, kalau bisa menyentuh hati rakyat yang "golput" itu pasti bisa memenangkan pertarungan dalam pemilu.
Kita tahu mendirikan Partai di Indonesia tidak gampang. Tidak seperti Pemilu tahun 1955 yang mempermudah rakyat untuk berpartisipasi dalam mengelola negara dengan berpemilu yang tidak rumit syarat-syaratnya. Pendirian Partai tidak harus mempunyai 100 persen provinsi, 75 persen Kabupatan/kota dan 50 persen pengurus di kecamatan; ditambah dengan  harus mempunyai anggota sebanyak  seper seribu dari jumlah penduduk di tiap kabupaten atau kota. Ini pun masih ditambah bebannya dengan wajib dan harus memiliki rekening bank di tiap tingkatan struktur partai, sekretariat kantor dan sebagainya yang bila tidak dapat memenuhinya akan menjadikan partai tersebut tidak bisa menjadi peserta pemilu.
 Pada saat ini juga, rakyat biasa merasa tidak mungkin bahkan pesimis untuk mendirikan partai. Partai selalu diidentikkan dengan banyak Uang atau punya Uang, bukan proyek gagasan yang diperjuangkan secara bersama, bersatu dan gotong royong.  Menjadi pengetahuan umum bahwa bila ingin duduk di Senayan harus kira-kira menyediakan uang  sekitar 4 -- 6 milyard. Perhitungan ini menjadi rasional di rakyat karena ditingkat desa juga sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kalau mau menjadi kepala desa, umumnya harus punya uang sekian ratus juta.
Bivitri Susanti, dalam rubrik analisis politik Kompas, 22 September 2022, menulis dan menyerukan  atau menghimbau agar para calon pemimpin atau calon presiden 2024 berdebat untuk membenturkan gagasan bukan hanya jualan sosok, trah dan mobilisasi dukungan saja. Dengan angkuh Bivitri menulis "Berdebatlah, Para Calon Pemimpin... (sebab) Semakin mendekati 2024, politik makin terlihat seperti sinetron untuk ditonton tetapi tak berisi." Pernyataannya ini tidak melihat keruwetan sistem kepartaian dan kerumitan untuk menjadi peserta pemilu yang menghabiskan energi sebelum akhirnya juga harus membangun dan membenturkan gagasan. Â
Gagasan tentu saja ada dan bahkan dibenturkan bila kita mengikuti perkembangan politik Indonesia dari keruntuhan Orde Baru hingga era reformasi. Suara-suara untuk visi Indonesia yang berubah dari Pancasila dogmatis ala Suharto, sampai Pancasila kerakyatan, yang terbuka terhadap perkembangan dunia hingga penerapan sistem Khilafah jelas mengemuka. Apakah semua itu tidak sampai ke telinga Bivitri?
Hanya karena berpartai itu mahal dan kesadaran berpartai itu rendah (ada yang menilai karena depolitisasi dan deparpolisasi Orde Baru ) rakyat lebih memilih berjaga jarak dengan Partai seperti menjadi sukarelawan saja. Tetapi sebagai sukarelawan, sering malah tidak punya etika politik atau barangkali etika politik itu hanya untuk  orang-orang partai saja? sehingga  para sukarelawan seakan mewakili publik seperti publik di panggung teater Roma mendesak dan mendemo "Kaisar" agar mengikuti kehendak-kehendak politik mereka.
Melihat situasi ini, tarikan antara sukarelawan dan partai politik dalam mencalonkan Presiden, mengapa justru tidak dibuka saja dan diwujudkan gagasan jalur independen untuk menjadi Presiden RI? Â Dengan begitu kaum sukarelawan punya jalan tol untuk memajukan Presidennya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H