Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Book

Papua, Budak, dan Majapahit

23 Januari 2023   22:25 Diperbarui: 24 Januari 2023   18:37 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan begitu jelas bahwa perbudakan yang dimaksudkan adalah berhubungan dengan perlakuan pemerintah (Indonesia)   yang dianggap memperlakukan Papua seakan sebagai negara jajahan bukan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu saja ini adalah problem politik, lebih khusus lagi problem pemerintahan, bukan pandangan atau sikap Bangsa Indonesia secara keseluruhan dalam memperlakukan Papua dengan kekerasan dan sebagainya. Jadi, tidak bisa dilihat secara dangkal.

Secara politik, Rakyat Indonesia menginginkan berlangsungnya sistem ekonomi politik berdasarkan Pancasila yang penuh dengan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial dan ini menjadi usaha seluruh rakyat yang menghendaki politik demikian terjadi di  Indonesia dari Sabang  sampai Merauke. Tentu saja ini membutuhkan  perjuangan politik yang  berkuasa baik di parlemen atau pemerintahan sehingga mampu mewujudkan politik yang diharapkan.

Dalam hal kekhususan, adanya ketidakadilan di bumi Papua  dan seakan diperlakukan sebagai budak, ada berbagai solusi yang telah ditawarkan  sebagai jalan keluar yaitu otonomi khusus  dari pemerintah yang seakan menduplikat  pada jawaban yang telah  diberikan pada  persoalan  Aceh dan Yogyakarta. Tawaran yang lain datang juga dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang menginisiasi  Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) untuk bisa  terlibat dalam pemilu 2024  yaitu membangunkan  juga semacam otonomi khusus dengan lebih menekankan pada demokrasi dari bawah berdasarkan  pribumi Papua sebagai soko guru yaitu Dewan Rakyat Papua.

 Secara historis, Papua memang tidak bisa dipisahkan dari proses terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Dalam sejarah kunonya, Socratez Sofyan Yoman dengan mengutip  buku karya A. Ibrahim Peyon mengungkapkan: "...bahwa tidak ada bukti-bukti autentik  peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya di seluruh Tanah Papua Barat dari Sorong sampai Merauke. Tidak ada candi-candi dan kuil-kuil yang ditemukan di sini. Dari sini terlihat bahwa semua itu hanya pembohongan, rekayasa sejarah dan mitos-mitos dengan tujuan mengkekalkan pendudukan dan penjajahan Pemerintah Indonesia demi kepentingan penguasaan ekonomi, politik, keamanan dan pemusnahan etnis Melanesia (Penduduk Asli Papua) (lihat halaman 19). Akan tetapi dalam Nagarakertagama, diungkapkan bahwa wilayah zuserin dalam sistem tributer Majapahit  termasuk juga Wanin  yang masuk Papua sekarang. 

Dan bila kita menengok sekilas ke belakang kita akan menemukan bahwa  dalam  hubungan diplomasi antara Majapahit dengan Kekaisaran Tiongkok, upeti yang dipersembahkan : selain Lada, rempah-rempah, mutiara,  juga budak-budak, terutama budak hitam.  Tercatat, misalnya,  pada 1381 Masehi, Majapahit mengirimkan sejumlah utusan yang membawa 300  budak hitam. Tahun selanjutnya,  membawa budak hitam pria dan wanita, yang berjumlah seratus orang.  (W.P. Groeneveldt, Nusantara dalam catatan Tionghoa, Komunitas Bambu, Depok, 2018;42)

Upeti budak hitam ini bukan monopoli Majapahit. Jauh sebelumnya, sekitar tiga abad sebelum Majapahit  berdiri,  Kalingga yang terkenal dengan Ratu Sima itu, sudah menjadikan budak hitam sebagai upeti. "Pada tahun 813, mereka mempersembahkan empat orang budak...Teks Tionghoa menyebutnya budak sangchi. Nama ini sering digunakan dan sepertinya menunjukkan orang kulit hitam. Saya tidak mengetahui asal nama ini," tulis W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa.

Koesalah Soebagyo Toer mencatat dalam Kronik Irian Barat terbitan Teplok Press bahwa pada awal abad VII,  saudagar-saudagar Sriwijaya mengunjungi Irian yang sudah dikenal sebagai daerah di mana terdapat berbagai macam Burung Cendrawasih yang luar biasa indahnya dan menjadi pokok berbagai macam dongeng. Para saudagar Sriwijaya itu  menyebut Irian dengan nama "Janggi"  yang sampai kini masih tersimpan dalam bahasa Jawa Kuno dan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, janggi berarti orang hitam. Dan Pada salah satu dinding Candi Penataran yang dibangun kira-kira pada abad VII di dekat Kota Blitar, terdapat relief seekor Burung Kasuari yang tidak terdapat di daerah Indonesia manapun kecuali di Irian Barat. Juga  diketahui bahwa Maharaja Mauli dari Dharmmacraya, pada 1377  mengirim utusan ke Tiongkok dengan membawa pelbagai upeti di antaranya Burung Kaswari. Selain itu, ada cerita di Babad Tanah Jawa bahwa Raden Bondan Kejawan ialah putra Brawijaya, raja terakhir Majapahit dari seorang permaisuri asal Wandan, suatu suku yang berkulit kehitam-hitaman.

Dengan demikian, "budak hitam" upeti Majapahit itu kemudian juga mendapatkan posisi terhormat melalui kisah Bondan Kejawan. Orang-orang berkulit hitam atau kehitam-hitaman itu menjadi bagian dari Majapahit yang menguasai Nusantara sebagaimana dicatat Nagarakertagama karya penyair Prapanca itu.

Penyatuan Nusantara itu, bila kita mau jujur,  semakin disempurnakan oleh, kalau kita percaya terhadap kehendak Tuhan, orang-orang kulit putih yang menjajah Nusantara yang mulai retak-retak, terpecah, lemah dan kehilangan epistemologinya sebagai Bangsa Nusantara.  Bangsa Portugis, Inggris dan  terutama Belanda telah membuat bangsa-bangsa di Nusantara menjadi satu di  bawah Negara Hindia Belanda sebagai koloni Kerajaan Belanda. Dengan begitu, menjadi senasib dan sepenanggungan sehingga memenuhi syarat untuk menjadi bangsa baru bernama Indonesia sebagai kebalikan  dari Hindia Belanda.  

Indonesia hari ini tentu lebih maju dari apa yang telah dilalui Kalingga,  Sriwijaya, Majapahit dan Belanda. Tak ada budak hitam yang dijadikan upeti persembahan demi lancarnya diplomasi dengan negara lain. Semua warga negara diperlakukan sama entah dari mana asalnya.  Bukankah seharusnya demikian...?

Tangerang, Januari 2023


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun