Mohon tunggu...
Ajeng Puspitasari
Ajeng Puspitasari Mohon Tunggu... -

Saya seorang mahasiswa S3 dalam jurusan Psikologi Klinis di University of Wisconsin - Milwaukee. Saat ini saya juga sedang menyelesaikan internship saya sebagai Clinical Psychology Resident di Brown University. Bidang spesialisasi yang sedang saya pelajari adalah depresi dan Behavior Therapy.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Disebut Pemberani karena Merasa Takut

4 Juni 2014   14:46 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:25 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14018426561394561525

Tahun pertama saya melakukan psikoterapi sebagai seorang mahasiswa, merupakan waktu yang sangat berharga. Saya banyak belajar tentang emosi dan pola pikir manusia dan dampaknya terhadap perilaku. Tidak hanya tentang emosi dan pola pikir pasien saya, tapi juga emosi dan pola pikir saya sendiri sebagai psikolog (in training).

Menghadapi pasien pertama saya, banyak sekali perasaan membebani yang saya rasakan. Cemas, takut, rendah diri, ragu-ragu apa mungkin saya bisa membantu seseorang yang sudah mengalami depresi selama puluhan tahun. Namun ada satu momen saat supervisi dengan profesor saya, di mana beliau menceritakan sebuah cerita yang sampai saat ini selalu saya ingat.

Ini yang beliau katakan kepada saya:

Tadi pagi saya baca di koran tentang seorang pemadam kebakaran yang diwawancarai oleh wartawan. Si pemadam kebakaran baru saja keluar dari gedung yang sekarang hancur terbakar. Ia dipandang sebagai pahlawan hari itu karena tanpa ragu-ragu masuk ke dalam gedung yang sedang terbakar untuk menyelamatkan seorang nenek.

Seorang wartawan lalu bertanya kepada si pemadam kebakaran, “Wah anda adalah seorang yang pemberani, apa yang membuat anda tidak takut untuk masuk kedalam gedung yang terbakar untuk menyelamatkan seorang nenek?”

Lalu si pemadam kebakaran menjawab, “Justru saya menerjang api dengan penuh rasa takut. Kalau saya tidak merasa takut, saya tidak bisa disebut pemberani.”

Saya diam sejenak setelah mendengar cerita tersebut, berusaha memahami. Lalu saya sadar bahwa cerita itu menunjukkan bahwa seseorang yang pemberani menjalani hidup itu bukan berarti orang yang tidak merasakan perasaan membebani. Justru seseorang dianggap pemberani karena dia bisa terus berjuang meskipun harus merasakan perasaan takut, cemas, rendah diri, dan ragu-ragu.

Kalau seseorang melakukan sesuatu dengan perasaan tenang-tenang saja, mungkin perilakunya jarang digolongkan perilaku pemberani. Contohnya, kalau kita memasak di rumah untuk keluarga dalam keadaan tenang dan nyaman, kemungkinan perilaku memasak itu hanya digolongkan sebagai perilaku sehari-hari atau perilaku tanda perhatian kita kepada keluarga.

Namun kalau Anda memasak di kaki gunung volcano yang sedang bereaksi untuk membantu pengungsi, dan ada kemungkinan keberadaan Anda di tempat pengungsian bisa mempengaruhi kesehatan fisik Anda, sehingga Anda juga merasa khawatir, saya rasa perilaku memasak ini bisa dianggap sebagai perilaku pemberani.

Jadi pelajaran yang saya dapat hari itu adalah untuk melakukan sesuatu yang berarti dalam hidup sering kali mendatangkan perasaan-perasaan yang membebani (e.g., cemas, takut, rendah diri). Justru kemampuan kita sebagai manusia untuk tetap maju dan berjuang secara konsisten walaupun mengalami perasaan yang membebani inilah yang membuat kita sebagai makhluk yang mengagumkan.

Hari ini saya ingin mengajak teman-teman untuk berdiam sejenak dan menghargai perjuangan yang sudah kita lakukan dengan menjawab pertanyaan berikut ini:

1) Pikirkan sesuatu yang Anda pernah lakukan yang:

-Tidak mudah dilakukan

-Namun sangat berarti dan sesuai dengan prinsip hidup Anda

-Yang membuat Anda bersyukur/bangga telah melakukannya

2) Perasaan membebani apa yang Anda rasakan namun bisa Anda terima dengan ikhlas dan akhirnya Anda lewati.

Mungkin ada yang mengingat sulitnya berbaikan dengan anggota keluarga setelah bermusuhan sekian lama. Dalam proses meminta maaf, mungkin Anda merasa kesal, marah, dikalahkan, namun Anda menerima perasaan membebani tersebut dan tetap berbesar diri untuk meminta maaf.

Mungkin ada yang mengingat sulitnya menjalani hidup sebagai pasangan muda. Keadaan financial yang terbatas. Namun Anda tetap bangun pagi, naik kendaraan umum, berada di kemacetan untuk tetap bekerja. Dalam proses tersebut Anda mungkin merasa sedih, cemas, dan marah, namun Anda menerima perasaan membebani tersebut dan terus berjuang dalam hidup.

Mungkin Anda seorang atlet yang harus berlatih secara konsisten untuk mencapai mimpi Anda. Dalam proses berlatih anda mungkin merasa lelah, kalah, dan ingin menyerah. Namun Anda menerima perasaan membebani tersebut dan terus bertanding untuk mencetak prestasi.

Pelajaran ini selalu mengingatkan saya bahwa seorang pahlawan bukan hanya mereka yang disorot dan dituliskan sejarah. Pahlawan pemberani adalah mereka… kita semua… yang mampu terus berjalan dan berjuang meskipun merasakan berbagai perasaan yang sangat membebani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun